Anemia merupakan masalah kesehatan serius yang dihadapi masyarakat dunia, terutama pada anak-anak. Indonesia masih menduduki posisi ke-4 sebagai negara dengan prevalensi anemia tertinggi di Asia Tenggara.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, setidaknya 1 dari 3 anak balita di Indonesia mengalami anemia. Salah satu penyebab tingginya kasus anemia di Indonesia disebabkan karena seringkali anemia terjadi tanpa gejala dan orangtua kurang memahami pentingnya pencegahan anemia sejak dini. Akibatnya orangtua kerap menghiraukan risiko atau dampak negatif jika si kecil menderita anemia.
Survei terbaru oleh Hello Health Group (2023) menujukkan bahwa 50% ibu tidak menyadari bahwa anemia yang disebabkan defisiensi zat besi (disebut anemia defisiensi besi/ADB) pada anak dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan otak. Survei juga menyatakan 33% ibu tidak mengerti makanan apa saja yang kaya zat besi (Fe).
Padahal, pada masa 5 tahun pertama kehidupannya anak perlu mengonsumsi makanan dan minuman tinggi nutrisi penting, termasuk zat besi untuk mendukung tubuh kembang (fisik dan kecerdasan) yang optimal.
Sebagai informasi, ADB menjadi masalah kurang nutrisi yang paling umum di seluruh dunia, menyumbang sekitar 62,6% dari semua kasus anemia. Remaja putri dengan ADB, ketika dewasa kemudian hamil, berpotensi melahirkan bayi yang juga anemia. Bayi ini berisiko tinggi untuk stunting. Anak stunting memiliki IQ rendah (rata-rata 11 poin lebih rendah dibanding anak normal), dan rentan mengalami penyakit kronis saat dewasa. Siklus ini bisa berputar hingga si anak dewasa dan memiliki momongan.
Dr. Ulul Albab, SpOG, Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjelaskan, perkembangan otak anak sangat tergantung pada asupan nutrisi yang dikonsumsi. Salah satu nutrisi penting yang harus terpenuhi pada masa 5 tahun pertama kehidupan anak adalah Fe.
“Sebab, jika anak kekurangan asupan harian zat besi, maka bisa menyebabkan anemia defisiensi besi yang dapat menimbulkan dampak negatif permanen, terutama pada perkembangan kognitif atau otak anak,” ujarnya dalam peringatan World Anamia Awareness Day, 13 Februari 2024 lalu.
Dalam jangka pendek ADB bisa menurunkan kecerdasan, otak (atensi, pendengaran, visual) dan fungsi motorik. Jangka panjang, akan mengurangi kemampuan berhitung, membaca, menulis dan bahasa anak.
Pencegahan anemia defisiensi besi
Pencegahan ADB pada balita dilakukan dengan memberikan gizi seimbang. Zat besi hewani (heme) lebih disarankan daripada non heme, karena lebih mudah untuk diserap tubuh. Zat besi non heme yang dapat diserap tubuh hanya sekitar seperduapuluh dari zat besi heme.
Zat besi hewani bisa diperoleh dengan mudah pada daging merah, ayam, hati, ikan, kerang laut, tiram dan telur. Adapun sumber zat besi non heme antara lain sayuran berwarna hijau gelap, telur dan susu yang difortifikasi zat besi.
Zat besi termasuk mikronutrien yang sulit diserap tubuh. Untuk itu, agar penyerapannya lebih maksimal (2 kali lipat), dibutuhkan kombinasi antara zat besi dan vitamin C.
Agar bisa diserap tubuh, zat besi haruslah dalam bentuk Fe 2+. Namun, zat besi dalam makanan khususnya yang sumber nabati, berbentuk Fe 3+. Elektron vitamin C bisa mengubah Fe 3+ menjadi Fe 2+ sehinga siap diserap ke dalam usus.
“Dalam memenuhi kebutuhan nutrisi harian anak, bisa juga dipertimbangkan untuk memberikan sumber nutrisi yang difortifikasi, seperti susu pertumbuhan yang tinggi zat besi. Sebab, susu pertumbuhan diketahui sebagai minuman protein hewani yang padat gizi dan diperlukan terutama di masa tumbuh kembang,” tambah dr. Ulul.
Beberapa produk susu pertumbuhan difortifikasi dengan zat besi dan vitamin C, sehingga bisa bermanfaat untuk mencegah anemia. (jie)
Baca juga: Alergi Susu Sapi Picu Anemia Defisiensi Besi, Apa Dampak Dan Bagaimana Mengatasinya?