alergi susu sapi picu anemia defisiensi besi

Alergi Susu Sapi Picu Anemia Defisiensi Besi, Apa Dampak Dan Bagaimana Mengatasinya?

Lebih dari 7% anak Indonesia mengalami alergi susu sapi (ASS). Protein susu sapi merupakan makanan penyebab alergi terbanyak kedua setelah telur pada anak-anak di Asia. Faktanya, alergi susu sapi adalah  sebagai salah satu penyebab anemia defisiensi besi.

World Allergy Organization (WAO) mencatat sekitar 1,9-4,9% anak di dunia menderita alergi susu sapi. Sementara data di Indonesia lebih memrihatinkan: 0,5-7,5% anak dengan alergi susu sapi.

Alergi susu sapi, menurut Prof. Dr. dr. Budi Setiabudiawan, SpA(K), MKes, ahli imunologi dari Univ. Padjadjaran, Bandung, merupakan respons imun yang berlebihan (hipersensitivitas) terhadap protein susu sapi, yang pada orang normal tidak berbahaya, tetapi menjadi bermasalah untuk anak dengan bakat alergi (atopik).

“Pada anak alergi, termasuk alergi susu sapi, ada peningkatan risiko malnutrisi karena eliminasi makanan yang memicu alergi sementara makanan penggantinya nutrisinya buruk,” terang Prof. Budi dalam peluncuran Program Festival Soya Generasi Maju, secara virtual, Rabu (31/3/2021).

Anak dengan alergi susu sapi rentan mengalami defisiensi zat besi (Fe). “Buruknya anak dengan alergi susu sapi bisa alergi pada makanan lain, sehingga dietnya bertambah. Biasanya mereka juga susah makan,” imbuh Prof. Budi.

Riset mencatat akibat asupan nutrisi yang tidak optimal – akibat pembatasan/diet makanan yang mengandung protein susu sapi- pada anak-anak dengan ASS, asupan zat besi, kalsium, fosfor dan vitamin C secara signifikan lebih rendah, dibanding anak tanpa pembatasan makanan.

Kekurangan besi juga dipicu adanya peradangan di saluran cerna, akibat ASS, menyebabkan penyerapan zat besi di usus tidak maksimal, timbul diare. Itu semua mengakibatkan defesiensi besi bertambah berat, bahkan bisa sampai menyebabkan anemia.  

Berpengaruh ke otak dan fisik

Zat besi sangat penting untuk perkembangan otak anak (pada pembentukan selaput saraf yang akan membantu proses penerimaan informasi di otak) dan pertumbuhan fisik.

Prof. Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc, dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjelaskan, Fe merupakan nutrisi penting untuk pembentukan hemoglobin yang berperan membawa oksigen ke sel-sel tubuh, sehingga mendukung anak untuk aktif bereksplorasi dan belajar.

“Dampak defisiensi besi mulai dari prestasi akademik rendah, mudah terserang penyakit, pertumbuhan fisik terhambat, hingga gangguan permanen di sistem motorik dan sensorik,” kata profesor yang akrab disapa Tati ini.

Alergi susu sapi yang tidak tertangani baik bisa berubah menjadi alergi dalam bentuk lain – seperti eksim, asma atau rhinitis alergi (batuk pilek karena alergi) – yang dikenal dengan atopic march.

“Bahkan meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti obesitas, hipertensi dan sakit jantung,” imbuh Prof. Budi. “Belum lagi ada beban biaya pengobatan, dan dampak psikologis pada anak dan orangtua.”

Susu isolat kedelai

Menurut panduan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tatalaksana utama alergi susu sapi adalah menghindari protein susu sapi dan produk-produk turunannya.

Prof. Budi menegaskan bila pilihan nutrisi pertama adalah ASI, “hanya saja selama menyusui ibu pantang makan/minum yang mengandung protein susu sapi.”

Namun untuk anak yang kurang beruntung tidak mendapatkan ASI, diberikan susu formula hidrolisat ekstensif atau susu formula asam amino.

Pada anak dengan gejala ASS ringan sampai sedang, pemberian susu formula hidrolisat ekstensif dapat diganti dengan susu formula isolate protein soya (kedelai). Sementara pada gejala berat tetap mendapat susu formula asam amino.

Untuk menentukan berat atau ringannya gejala sebaiknya orangtua berkonsultasi dengan dokter anak.

“Riset di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, tahun 2018-2019, pada anak-anak dengan alergi susu sapi menunjukkan pemberian formula isolat protein soya mendukung pertumbuhan normal anak sesuai grafik pertubuhan WHO, dan bisa ditoleransi baik. Berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala normal sesuai umur,” terang Prof. Budi.

Juga tidak terbukti susu soya menyebabkan gangguan reproduksi pada anak laki-laki. Tidak ada efek negatif untuk fungsi reproduksi, endokrin (hormonal), imun dan kognitif.

Kombinasi vitamin C dan zat besi

Untuk mencegah anemia defisiensi besi, menurut Prof. Tati tidak cukup dengan mengonsumsi makanan/minuman sumber zat besi. Tetapi juga perlu dikombinasikan dengan senyawa yang membantu penyerapan besi di usus, salah satunya vitamin C.

“Senyawa fitat dalam sereal dan gandum, serta polifenol dalam teh, menghambat penyerapan zat besi di usus. Sementara vitamin C akan meningkatkan penyerapannya,” terang Prof. Tati.

Vitamin C akan meningkatkan penyerapan zat besi yang berasal dari nabati. Normalnya zat besi dari tanaman lebih sulit diserap tubuh, dibandingkan zat besi hewani (2-3 kali lebih mudah diserap usus).  

Sumber zat besi hewani (heme) antara lain dari daging merah, daging unggas, hati, ikan dan tiram. Sementara sumber zat besi nabati (non-heme) seperti bayam, nasi putih, kacang-kacangan, sayuran hijau, tomat, kentang dan susu kedelai yang difortifikasi zat besi.

“Tetapi karena kalsium dalam susu juga bisa menghambat penyerapan besi, jangan minum susu setelah makan,” tegas Prof. Tati. “Pada susu formula berbasis soya, kombinasi vitamin C dan zat besi disarankan dengan rasio molar 4:1 untuk mengoptimalkan penyerapan zat besi.”

Untuk menangani alergi susu sapi orangtua perlu melakukan 3K+, yaitu: kenali gejalanya, konsultasikan ke dokter, kendalikan faktor penyebab dan berikan alternatif nutrisi. Serta, kembangkan potensi si kecil dengan stimulasi yang tepat. (jie)