Prevalensi penyakit ginjal kronis (PGK) di Indonesia belum sepenuhnya diketahui, tapi berdasarkan sebuah studi pada 2006, hasilnya mencapai 12,5%. Tidak berbeda jauh dengan prevalensi dunia 10-13%. Khusus di Jawa Barat, penderita gagal ginjal sebelum era BPJS adalah 664 orang per juta penduduk, sedangkan jumlah penduduk Jawa Barat sekitar 40 juta jiwa.
“Data tadi menunjukkan, dibutuhkan kesiapan dalam jumlah alat hemodialisis (HD) dan perawat HD yang sangat banyak,” ujar dr. Afiatin, Sp.PD-KGH dari Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) Jawa Barat, dalam dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) bekerjasama dengan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (CHEPS-FKMI UI) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
HD memang masih menjadi pilihan utama pengganti ginjal di Indonesia. Pada 2016, ada >25.000 pasien baru HD, dan total 52.835 pasien HD aktif. Diduga, pelayanan JKN yang membiayai HD turut berperan dalam meningkatkan jumlah pasien HD. Saat ini sudah tersedia 640 unit HD di Indonesia, tapi sebagian besar masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatera.
Baca juga: M. Aliefka Yanuar Bramantyo Ogah Menyerah meski Cuci Darah
Padahal selain HD, ada dua pilihan terapi lain: CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis) dan transplantasi ginjal. Kemenkes memiliki rencana untuk meningkatkan cakupan CAPD menjadi 30%, dari yang hanya sekitar 2% sekarang ini.
Di Jawa Barat, pasien CAPD pada 2013 hanya 2,57%. Untuk mengurangi ketergantungan mesin HD dan perawat HD, Pernefri Jawa Barat juga mencoba menaikkan cakupan pasien CAPD. “Idealnya, cakupan CAPD mencapai 30% agar kebutuhan mesin HD dan perawat HD mendekati ideal, sehingga satu perawat hanya menangani 6 pasien HD,” terang dr. Afiatin.
Untuk mencapainya, pada tahap awal perlu dilakukan pelatihan. Ini meliputi pelatihan pada dokter penyakit dalam, dokter bedah umum, perawat, dan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yang bertindak sebagai kader, yaknii orang terdekat pasien, untuk perawatan CAPD.
Baca juga: Menghindari Gagal Ginjal
Pemasangan alat dialisis dalam perut dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam, jika tidak tersedia konsultan ginjal hipertensi, atau spesialis bedah umum. Pemasangan alat CAPD dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat 2 dan tidak perlu rumah sakit rujukan,” Setelah itu pasien dikembalikan ke daerahnya dan diawasi kader dan keluarga.”
Kajian dari hasil studi yang dilakukan Pernefri melahirkan beberapa rekomendasi. Yakni perlunya dilakukan peningkatan cakupan CAPD di Indonesia, yang saat ini baru 2-3% saja dari total penderita gagal ginjal kronik.
Akhir 2017 setelah kunjungan tim Kemenkes dan Pernefri ke Columnia, maka akan dibuat Komite Ginjal Nasional,dengan tim peningkatan cakupan CAPD diprioritaskan. Selanjutnya akan dilakuka proyek percontohan untuk meningkatkan cakupan CAPD di Jawa Barat, meliputi lima Kabupaten kota.
Bila proyek ini berjalan sukses, kita bisa menilai sendiri baik/buruknya CAPD, untuk memutuskan pilihan yang terbaik untuk terapi pengganti ginjal. Tentu kita berharap proyek serupa bisa segera dijalankan di luar Pulau Jawa dan Sumatera, di mana unit HD masih sangat minimal atau bahkan tidak ada. (nid)