Menderita gagal ginjal kronik berarti masa depan suram dan hidup tergantung dari cuci darah (dialisis). Tapi, tidak bagi M. Aliefka Yanuar Bramantyo, 13 tahun, siswa kelas 2 SMP di Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia menderita gagal ginjal sejak kelas 6 SD.
Indri Hapsari (39 tahun), ibunda Alief, masih mengingat dengan baik peristiwa tak tak terduga di suatu hari di bulan Juni 2015. “Dokter mengabari saya tentang kondisi Alief,” katanya. “Seketika saya mati rasa, kaki lemas. Saya menangis di lorong rumah sakit. Sulit menerima takdir bahwa anak pertama saya mengalami gagal ginjal. Saya bertanya, Tuhan mengapa harus anak saya yang kena gagal ginjal?”
Itulah awal dari babak baru kehidupan Alief dan keluarga orangtuanya. Berawal dari kegemaran Alief minum soda dan minuman kemasan lain sedari kecil; hampir tiap hari Alief minum minuman kemasan. Usia 6 tahun, Alief divonis menderita sindrom nefrotik. Yakni gangguan ginjal akibat rusaknya (bocor) pembuluh darah glomeruli yang berfungsi menyaring darah dan memisahkan zat yang dibutuhkan tubuh dan yang harus dibuang lewat urine. Kondisi ini menyebabkan protein ikut terbuang lewat urin.
Setiap kali Alief makan bakso atau mie instan, esoknya pergelangan kaki membengkak. “Kata dokter, daya tahan tubuh tiap anak berbeda. Alief tidak kuat minum softdrink,” papar Indri. Lebih dua tahun Alief mendapat perawatan intensif untuk memperbaiki ginjalnya; 12-16 jenis obat harus ia makan setiap hari.
Melihat perkembangan kondisi Alief tidak terlalu bagus, keluarga memutuskan membawa sulung dari tiga bersaudara itu berobat ke Malaysia. Tiap tiga bulan Alief kontrol ke Malaysia, berlangsung selama 1,5 tahun.
“Alief sempat dinyatakan sembuh. Kami girang bukan main. Alief bisa makan tanpa kakinya harus bengkak,” papar sang ibu. Itu sekitar tahun 2013.
Merasa sudah sembuh, pola makan Alief tidak dijaga. Pertengahan tahun 2015, kondisinya menurun, badan kurus, muncul bercak-bercak ruam yang gatal di kulit. Kondisi Alief makin ngedrop, tidak mau makan dan mengalami sesak napas. Panik, pihak keluarga membawa Alief ke UGD (Unit Gawat Darurat). Setelah mendapat penanganan, Alief dirujuk ke ahli penyakit dalam. Diketahui bahwa ia mengalami gagal ginjal tahap akhir (ESRD /End Stage Renal Disease), fungsi ginjalnya tinggal < 15%.
Cuci darah di Jakarta
Hasil laboraturium menyatakan, kadar ureum dan kreatinin dalam darah sangat tinggi. Kedua zat ini adalah sisa metabolisme yang dibuang ginjal melalui urin dan, mestinya, hanya sedikit yang tersisa di darah. Normalnya, kadar ureum dalam darah <30 mg/dl, dan kreatinin <1,5 mg/dl. “Ureum Alief sampai 400 mg/dl, racun menyebar lewat aliran darah. Kata dokter, kalau orang lain sudah lewat. Alief luar biasa kuat,” ungkap Indri.
Pada hari Ia divonis gagal ginjal, dengan tegar Alief berkata, “Aku bisa menerima apa yang terjadi. Tapi, tidak ingin menyerah.“
Sebagai penderita gagal ginjal tahap akhir, Alief mesti cuci darah (dialisis) atau menjalani transplantasi ginjal. Tahun itu, 2015, Alief adalah penderita ESRD anak pertama di Balikpapan. Dokter menyarankan sebaiknya ia dirawat di Jakarta (RS Cipto Mangunkusumo). Bulan Juni – September, Alief dirawat di RSCM. Ia menjalani cuci darah dengan mesin.
Kondisinya naik-turun. Kadang kadar Hb (hemoglobin) rendah, membuatnya menggigil. Ureum berkisar 100 – 150 mg/dl. Ia tidak bisa jalan dan perlu memakai kursi roda. Orangtuanya sedih karena ia tidak bisa sekolah dan bertemu teman-teman.
Melihat perkembangan yang tidak begitu bagus, dr. Cahyani Gita Ambarsari, Spesialis Nefrologi Anak di RSCM menganjurkan mengubah metode terapi; cuci darah dengan membran perut (membran peritoneal). Metode ini disebut peritoneal dialysis (PD). Jenis PD yang sesuai untuk Alief adalah CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis).
Metode PD bekerja dengan membersihkan racun dalam darah dan membuang cairan berlebih menggunakan membran peritoneal, sebagai penyaring racun. Membran ini diisi cairan dialisis dari luar tubuh.
Cairan dialisis yang mengandung racun dikeringkan dari rongga peritoneal setelah beberapa jam, dan diganti dengan cairan baru. Umumnya pasien perlu 3 – 4 kali pergantian sehari dengan waktu selama 30 menit. Saat proses penggantian, pasien tetap bisa menjalankan aktivitas dengan normal.
CAPD di rumah
Pihak keluarga semula ragu menggunakan metode CAPD untuk Alief. Takut tidak steril dan menyebabkan infeksi dan memperberat penyakit.
“Kata neneknya Alief, kalau bisa membuat Alief lebih baik harus dicoba,” kata Indri. Alief dan keluarga mendapat pelatihan CAPD selama dua bulan, dibolehkan pulang ke Balikpapan dan melakukan CAPD sendiri di rumah.
Ternyata hasilnya bagus. Kadar ureum Alief berangsur turun dan akhirnya normal. Awalnya cairan dialisis diganti tiap 6 jam sehari, kemudian meningkat menjadi tiap 3 jam.
“Kalau Alief mau sekolah, jam 5 subuh sudah ganti. Pulang sekolah, sekitar jam 3 sore mulai ganti per 2 jam untuk mengganti waktu yang terlewat,” terang Indri. Proses penggantian dilakukan di kamar tertutup yang minim perabotan, non AC dan kipas angin. Sebelum dan sesudah melakukan pergantian, wajib cuci tangan dengan cairan antiseptik.
Sejak melakukan CAPD, Alief bisa minum dengan bebas; saat dialisis dengan mesin hanya boleh minum maksimal 300 ml sehari. Ia bisa buang air kecil lebih sering (banyak), sekitar 800 -1000 ml. Dokter heran melihat perkembangan kondisi Alief, karena biasanya penderita gagal ginjal kronik berkemihnya sangat sedikit.
Dengan progresi yang bagus, Alief kerap diajak dokter untuk mengedukasi sesama penderita gagal ginjal agar menggunakan CAPD. Alief sudah kembali ke sekolah dan bisa belajar dengan normal. Alief optimistis akan masa depannya. Ia ingin menggapai mimpi: belajar bahasa Inggris lalu bekerja di luar negeri.
Indri merasa belajar banyak dari kejadian ini. Perilaku anak adalah mencontoh orangtuanya, termasuk pola makannya. Jika orangtua senang jajan, demikian pula anaknya. “Sekarang saya lebih banyak makan di rumah, tidak jajan. Alief kalau ke sekolah membawa bekal susu atau biskuit, tidak mau jajan di kantin. Pulang sekolah ia makan di rumah,” ujar Indri. (jie)