Terapi Plasma Konvalesen, Harapan untuk COVID-19
COVID_konvalesen_convalescent

Terapi Plasma Konvalesen, Harapan untuk COVID-19 yang Tengah Diuji Klinis

Seperti Kotak Pandora, harapan selalu ada dalam tiap kesulitan. Di tengah wabah COVID-19, muncul satu lagi harapan berupa terapi dengan plasma dari pasien COVID-19 yang sudah sembuh. Pengobatan ini disebut terapi plasma konvalesen (convalescent), dan tengah diuji secara klinis. Seberapa besar kemungkinan plasma konvalesen berhasil mengobati COVID-19? Prof. Dr. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM menjelaskan kepada OTC Digest.

Terapi plasma konvaselen awalnya digunakan dalam menangani wabah SARS di Hong Kong pada 2003. “Ketika itu, plasma dari pasien yang sudah sembuh diberikan kepada pasien yang masih dirawat. Ternyata berhasil,” ungkap Prof. Zubairi.

Berkaca dari pengalaman tersebut, dilakukanlah terapi serupa untuk mengobati pasien COVID-19 atau SARS-2 di Tiongkok. Namun dengan catatan, mereka juga mendapat pengobatan COVID-19 standar seperti infus, obat klorokuin, atau azithromycin. “Jadi, plasma buka satu-satunya pengobatan. Pasien yang mendapat terapi plasma juga mendapat pengobatan yang sama seperti pasien lain,” tuturnya.

Metode terapi dengan plasma konvaselen kini tengah diuji klinis di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, India, dan Indonesia. Tom Hanks dan istrinya, Rita Wilson yang sudah sembuh dari COVID-19, dengan sukarela mendonorkan plasma darah mereka untuk kepentingan ini. Di Indonesia, salah seorang yang mendonorkan darahnya untuk terapi konvaselen adalah Ratri Anindyajati, pasien COVID-19 ketiga di Indonesia yang telah sembuh.

Baca juga: Bisakah Darah dari Penyintas Virus Corona Membantu Penyembuhan Penyakit?

Syarat terapi plasma konvalesen

Terapi plasma konvalesen bisa dijadikan standar pengobatan bila telah diberikan kepada ribuan pasien, dan menunjukkan hasil yang bagus. “Itu bukan uji klinis lagi namanya. Tapi untuk saat ini, masih dalam tahap uji klinis,” ujar Prof. Zubairi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, sebelum terapi ini bisa dikukuhkan jadi pengobatan.

Aman

“Syarat mutlak pengobatan nomor satu adalah aman,” tegas Prof. Zubairi. Untuk itu, darah dari pendonor untuk diambil plasmanya harus dipasrikan aman dan bebas dari berbagai penyakit yang bisa menular lewat darah dan plasma, seperti hepatitis B, hepatitis C, HIV, dan sifilis. Kesehatan calon donor harus diperiksa secara menyeluruh, termasuk darahnya. Calon pendonor juga harus menjalani test swab dua kali dengan hasil negatif, dan jarak antara kedua tes minimal 24 jam. “Ini untuk memastikan bahwa calon donor sudah benar-benar sembuh dari COVID-19,” imbuhnya.

Plasma donor baru bisa diambil setelah terbukti tidak ada penyakit. “Memang kita membutuhkan pengobatan yang segera untuk menghadapi pandemi berbahaya ini. Namun prinsip keamanan tidak bisa dikesampingkan,” tandas Prof. Zubairi.

Efektif

Setelah terbukti aman, barulah uji klinis dilakukan, berdasarkan pengamatan sebelumnya bahwa terapi ini tampak efektif. Tanpa bukti keamanan dan efikasi, uji klinis tidak bisa dilakukan.

 “Terkait efikasi atau efektivitas, syaratnya adalah plasma donor harus mengandung titer antibodi yg tinggi. Minimal 1/640,” terang Prof. Zubairi. Lebih lanjut ia menjelaskan, titer antibodi penting untuk memastikan bahwa resipien menerima antibodi dalam jumlah yang cukup, untuk dapat menghancurkan virus di dalam tubuhnya.

Sebagai informasi, tidak semua orang yang pernah terinfeksi COVID-19 akan memiliki antibodi yang cukup sebagai pertahanan tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Inilah pentingnya dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap plasma dari calon donor, selain untuk keamanan. 

Baca juga: Darah Penyintas COVID-19 mungkin bisa Membantu Kesembuhan Pasien Lain, tetapi dengan Syarat…

Bagaimana plasma diambil?

Di unit transfusi darah, donor memberi darahnya secara lengkap (whole blood). Darah yang lengkap ini kemudian dipisah-pisah menjadi beberapa komponen darah. “Jadi, yang diberikan kepada resipien hanyalah yang diperlukan. Jika resipien hanya perlu sel darah merah (packed red cells), atau trombosit, atau cryoprecipitate saja, atau plasma darah saja, ya itu saja yang diberikan,” papar Prof. Zubairi.

Untuk keperluan uji klinis terapi plasma konvalesen, pengambilan plasmanya berbeda. Dalam hal ini, digunakan metode plasmaferesis. “Dengan instrumen khusus, yang akan diambil dari donor adalah plasma darahnya saja, sementara komponen darah lainnya dikembalikan ke tubuh donor,” jelas Prof. Zubairi. Menurutnya, alat Feresis sudah ada cukup lama ada di beberapa RS di Indonesia, yakni sejak sekitar 20 tahun yang lalu.

Seorang pendonor bisa memberi 400-500 cc plasma, dan ini bisa dipakai untuk dua pasien. Setiap pasien hanya memerlukan satu kali transfusi. Antibodi yang terkandung di dalam plasma donor diharapkan berfungsi sama di tubuh pasien, “Menghancurkan virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19.”

Plasma donor bisa diambil dalam jarak satu atau dua minggu. “Ini berbeda dengan donor darah biasa (whole blood), yang jaraknya lebih lama dari pengambilan terakhir,” pungkas Prof. Zubairi.

Butuh lab khusus

Uji klinis terapi plasma konvalesen di Indonesia masih terbatas. Penelitian membutuhkan laboratorium dengan biosafety level 3, dan sudah bisa melakukan uji klinis pada manusia. Hanya ada 3 lab seperti ini di Indonesia. Yakni milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan, lab Eijkman (Jakarta), dan lab di Universitas Airlangga (Surabaya).

Uji klinis mulai dilakukan oleh RSPAD Gatot Soebroto bekerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dan produsen vaksin Bio Farma. Seiring waktu, uji klinis akan melibatkan lebih banyak lagi RS di Indonesia.

Perlu dipahami, terapi plasma konvalesen bukanlah pengobatan massal seperti obat pada umumnya. Kepala LBM Eijkman Prof. Amin Soebandrio menegaskan, pengobatan ini sangat individual. Berbeda dengan obat biasa yang bisa dipakai semua orang, dengan dosis yang sama. Orang yang bisa mendapat terapi ini pun tidak sembarangan. Khusus untuk pasien yang sedang dirawat akibat COVID-19. Terapi plasma konvalesen bukanlah vaksin, sehingga tidak boleh digunakan sebagai pencegahan pada orang sehat.

Jangan tergiur oleh iklan menyesatkan, yang menyatakan bisa menyediakan terapi plasma untuk mencegah COVID-19. Vaksin untuk penyakit ini belum ada, dan terapi dengan plasma konvalesen hanya diperuntukkan bagi mereka yang sakit dan memenuhi kriteri untuk mendapat pengobatan tersebut. (nid)

___________________________________________

Ilustrasi: Doctor photo created by freepik - www.freepik.com