Tak Perlu Kemoterapi | OTC Digest

Tak Perlu Kemoterapi

Umumnya, pengobatan kanker menggunakan kemoterapi. Pada LGK (leukemia granulositik kronis), sedikit berbeda. Menurut laman www.cancer.org, kemoterapi awalnya merupakan salah satu pengobatan utama LGK. Kini jarang digunakan, sejak ditemukannya obat-obatan terapi target TKI (tyrosine kinase inhibitor). Secara umum, kemoterapi bisa diartikan sebagai obat sitotoksik. Utamanya membunuh sel-sel yang tumbuh dan berkembang sangat cepat, tapi sel-sel sehat ikut terkena dampaknya.

TKI bekerja secara spesifik. Pada LGK, terjadi fusi (penggabungan) gen BCR-ABL yang menghasilkan protein BCR-ABL dengan tirosin kinase (TK) teraktivasi. Terdapat domain, tempat terjadinya interaksi antara ATP dan fosfat, yang menghasilkan sinyal molekuler dan memicu perkembangbiakan protein BCR-ABL. “Obat TKI memblokir domain ini, sehingga ATP tidak bisa bekerja dan tidak berikatan dengan sinyal,” kata dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM dari Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam (Perhompedin).

Obat golongan TKI mulai dikembangkan tahun 2001. Sampul majalah TIME edisi 28 Mei 2001 menyebut obat ini sebagai “amunisi baru dalam perang melawan kanker”. Pada mayoritas pasien, terapi dengan TKI mengurangi BCR-ABL secara signifikan. LGK dengan kromosom Philadelphia positif (Ph+) yang tadinya mematikan, jadi berada dalam fase kronis.

Tujuan pengobatan LGK Ph+ yakni, sel-sel leukemia dalam tubuh jadi lebih sedikit, secepat mungkin begitu pengobatan dilakukan. Diharapkan, pengobatan akan mencegah reproduksi sel-sel leukemia dan mengurangi kadar sel-sel tersebut secara keseluruhan. Menghambat BCR-ABL akan menghentikan produksi sel-sel darah putih leukemia berlebihan, hingga bisa mencapai kadar yang tidak terdeteksi.

“Setelah diberi obat, perkembangan pasien diikuti,” tutur dr. Hilman. Yang penting melakukan monitoring untuk menilai, bagaimana tubuh pasien merespon pengobatan. Bisa dilakukan tes darah rutin, sesuai anjuran dokter. Tiga bulan setelah pengobatan dimulai, perlu kembali dilakukan pemeriksaan PCR, dan diulang lagi tiap 3-6 bulan berikutnya.

Respon yang baik membuat kondisi pasien membaik; makin sedikit kadar BCR-ABL yang terdeteksi. Bila sudah mencapai MR4.5, bisa dikatakan sudah benar-benar stabil. Dalam percobaan klinis, tidak ada pasien yang sudah mencapai MR4.5, penyakitnya berkembang ke tahap lebih lanjut. “Namun, obat tetap harus diminum, seumur hidup,” tegas dr. Hilman. Saat kondisi sudah stabil, pasien cukup minum obat 1x sehari dengan dosis 400 mg.

Transplantasi sumsum tulang tidak menjadi pilihan utama. Transplantasi sumsum tulang biayanya mahal, menyakitkan pasien dan angka keberhasilannya tidak 100%. “Kalau ada pengobatan yang biasa, buat apa yang bombastis?” ujarnya.

 

Efek samping obat

Obat TKI bisa menimbulkan efek samping, dan berbeda pada tiap pasien. Gejala biasanya ringan seperti mual hingga muntah, nyeri/kram otot, sakit kepala, bengkak dan retensi cairan khususnya di sekitar mata, ruam kulit, diare dan heartburn.

Efek lain, kadar darah putih menurun hingga rentan infeksi. Platelet bisa turun, sehingga terjadi perdarahan saluran cerna, ditandai dengan feses (tinja) berwarna hitam. Bisa juga, warna kulit menjadi lebih putih.

Untuk mengantisipasi mual/muntah, obat sebaiknya diminum dalam kondisi perut penuh. Sehingga, bila sampai muntah, masih ada makanan yang dikeluarkan. Jangan tidak mau makan bila merasa mual, apalagi sudah muntah. Usahakan tetap makan, makan apa saja, sesedikit apapun, untuk menggantikan yang keluar saat muntah.

Obat-obatan TKI bisa memiliki efek serius dengan obat lain maupun suplemen yang dijual bebas. Informasikan selalu kepada dokter, mengenai obat-obatan (obat kimia maupun herbal) dan suplemen yang dikonsumsi. Sebelum mengonsumsi obat/suplemen, sebaiknya konsultasi ke dokter, agar lebih aman.

 

Tak ada pantangan

Gaya hidup seperti apa yang harus dijalani pasien LGK? “Saya pikir sih tidak ada pantangan. Semua makanan boleh,” ujar Andrian Rakhmatsyah, Sekretaris Jenderal ELGEKA untuk wilayah Bandung dan Jawa Barat.

Di awal pengobatan, ia sempat terpengaruh oleh saran orang-orang di sekitarnya untuk tidak makan ini-itu. Setelah konsultasi dengan dokter dan teman-teman dari komunitas ELGEKA, ia paham bahwa tidak perlu memantang makanan. “Saya orang normal, seperti orang lain. Yang penting makan seimbang, tidak berlebihan,” katanya.

Pendapat ini diiyakan dr. Hilman. “Pada prinsipnya, semua boleh dimakan, termasuk daging kambing. Memangnya kenapa tidak boleh?” ucapnya. Justru saat pengobatan intensif, sangat tidak dianjurkan membatasi makan. Silakan makan sesukanya, tentunya jangan makan sampai tidak terkontrol. Terutama saat muncul rasa mual; makan saja apa yang diinginkan. Hanya merokok yang perlu dihindari.

Namun, ada buah yang sebaiknya dipantang, yakni jeruk bali atau grapefruit dan delima. Jeruk bali dapat meningkatkan kadar TKI dalam darah hingga 2-4 kali lipat, membuat obat  terlalu banyak di dalam sistem tubuh. Adapun delima bisa berinteraksi dengan KI, sehingga sebaiknya dihindari.

Di luar itu, silakan dikonsumsi. Olahraga pun relatif bebas. Yang penting, diskusikan lebih dulu dengan dokter mengenai pilihan olahraga yang sesuai dengan kondisi tubuh, karena tiap orang bisa berbeda. Dan, dengarkan suara tubuh; jangan memaksakan diri berolahraga bila  kondisi kurang fit.

 

Obat untuk Ibu Hamil

Tidak ditemukan, bila salah satu atau kedua orangtua menderita LGK, maka anaknya juga akan LGK. “Yang repot kalau perempuan yang kena LGK, kemudian hamil,” ujar dr. Hilman. Obat-obat TKI tidak bisa digunakan pada ibu hamil, karena bisa membahayakan janin. Jadi, obat apa yang aman digunakan selama kehamilan? “Kembali ke pengobatan konvensional yang dulu biasa digunakan, hydroxyurea,” katanya.

Hydroxyurea merupakan obat kemoterapi oral. Yang paling umum digunakan untuk LGK, berbentuk kapsul. Hydroxyurea efektif mengontrol leukositosis dan mengurangi ukuran limpa yang membengkak, tapi tidak menurunkan persentasi kromosom Ph dan tidak mencegah fase krisis blastik. (nid)

 

Baca juga: LGK, Leukemia di Usia Dewasa