imunoterapi pada kanker paru efek samping minimal

Imunoterapi untuk Kanker Paru Efek Samping Minimal, Tidak Membuat Rambut Rontok: Sebuah Sudut Pandang Pasien

Angka perokok yang tinggi di Indonesia berkaitan dengan banyaknya penderita kanker paru. Tetapi pengobatan kanker paru di Indonesia tergolong sangat maju, setara dengan standar internasional. Bahkan pengobatan terbaru dengan imunoterapi memiliki efek samping minimal, tidak membuat rambut rontok.

Menurut dr. Sita Laksmi Andarini, PhD, SpP(K), wakil ketua bidang hubungan luar negeri PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), 67,4% orang dewasa di Indonesia merokok. “Membutuhkan waktu hingga 20 tahun merokok hingga bisa menjadi kanker paru,” katanya.

Biasanya kanker paru tidak menimbulkan gejala, hingga stadium lanjut. Karena di paru tidak ada indera perasa. Kalau sudah kena dinding paru baru terasa sakit, dan muncul gejala seperti batuk, batuk berdarah, sesak atau sakit.

“Kanker paru berasal dari epitel bronkus atau alveolus. Normalnya sel-sel epitel berbentuk rapih, kalau ada jejas karsinogen akan terjadi hiperplasi (peningkatan jumlah sel).

“Sel bisa menjadi kanker karena memilik sifat seperti mampu lari dari penginderaan imunitas, dan punya sinyal sendiri yang tidak mau berhenti. Ini bisa dihentikan dengan obat imunoterapi,” papar dr. Sita dalam sesi #LUNGTalk yang diadakan secara virtual oleh CISC (Cancer Information and Support Center), Rabu (26/8/2020) lalu.

Baca : Efikasi Baik dan Efek Samping Minimal, Imunoterapi Tak Sekadar Euforia

Tidak membuat rambut rontok

Salah satu yang saat ini sedang menjalani imunoterapi untuk kanker paru adalah Ny. Ida Gultom. Ia adalah penderita kanker paru baru; terdiagnosis Januari 2020. Ida tidak perokok, keluarganya pun bukan perokok.  

Berawal dari gejala batuk dan sesak napas. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, hasil CT scan paru menyatakan adanya nodul (benjolan) di paru. Harus dilakukan biopsi (pengambilan sampel jaringan) untuk memastikannya.

Hasil biopsi menyatakan kanker paru, dan dianjurkan kemo. Karena belum bisa menerima keadaan, Ida pun mencari opini kedua ke dokter lain. “Doa saya waktu itu kalau bisa TBC saja yang sudah ada obatnya, kalau kanker matilah saya, anak-anak masih kecil. Beberapa dokter saya temui anjurannya sama harus kemo,” kenangnya.

Selama masa denial-nya ia pun harus menemani sang anak berobat ke Malaysia. Saat itu ia juga disarankan, “Harus berobat sembari menunggu anak, karena berkejaran dengan waktu,” kata dokter saat itu.

“Saya dibiopsi ulang yang lebih lengkap. Sembari menunggu hasil biopsi, disarankan MRI dan PET scan karena saya ngeluh sakit kepala. Hasil PET scan ada nodul di paru 5,3 cm, hasil MRI ada belasan sel-sel kanker di kepala. Saya diharuskan menjalani imonoterapi dengan kombinasi 3 obat. Ini seperti anjuran dokter di Jakarta,” ujar Ida.

Imunotarapi pertama dilakukan pada 17 Februari – 6 hari setelah WHO mengumumkan pandemi global COVID-19 – dilakukan per 3 minggu.

Singkat cerita pada evaluasi pertama, hasil PET scan menunjukkan nodul mengecil menjadi 3,5 cm, hasil MRI menyatakan otak bersih dari sel kanker. “Dulu dokternya bilang tidak bisa menjamin dengan imunoterapi bisa menembus kepala, biasanya harus radiasi. Ternyata Tuhan baik, saya tidak perlu radiasi,” imbuh Ida.

Setelah melewati pengobatan di Malaysia – saat pemerintah Malaysia menerapkan lockdown – Ida pun pulang ke Jakarta. Melanjutkan pengobatan di Tanah Air. “Saat ini saya sudah lanjut sampai imunoterapi ke 9, nanti imunoterapi ke 10 pada September,” katanya.

Ida menambahkan saat imunoterapi ke 8 (Juli 2020) hasil CT scan thorax menunjukkan nodul menyusut hingga 1,5 cm.

“Dokter bilang dengan imunoterapi tidak ada efek samping (minimal). Saya tidak mengalami mual, nafsu makan biasa, rambut tidak rontok. Dokter berpesan imunoterapi ini akan dijalankan selama 2 tahun,” katanya.

Efek samping imunoterapi diketahui minimal jika dibandingkan dengan kemoterapi. Dosis imunoterapi rata-rata kecil – 2 /kg berat badan – sehingga efek sampingnya pun minimal. Pasien tetap bisa beraktivitas, tanpa keluhan efek samping. Rata-rata pemberian anti PD-1 di Indonesia juga relatif singkat, biasanya antara 8-12 kali.

Apa itu imunoterapi ?

Pada pengobatan kanker paru, khususnya kanker paru jenis bukan sel kecil (KPKBSK), telah ditemukan imunoterapi dengan obat anti PD-1.

Sel T limfosit sebagai bagain dari pertahan tubuh, memiliki reseptor PD-1 (programmed cell death-1), yang akan memaksa sel kanker melakukan bunuh diri. Namun sel kanker tertentu mengembangkan mekanisme pertahan berupa PD-L1.

Saat PD-1 milik sel T menempel di permukaan sel kanker, terjadilah ikatan dengan PD-L1 sel kanker. Ini membuat PD-1 menjadi tidak aktif, sehingga tidak bisa memicu apoptosis (pemrograman sel untuk bunuh diri) sel kanker.

Ikatan inilah yang dipotong oleh imunoterapi anti PD-1. Dengan demikian, sel T kembali aktif dan bekerja dan sel kanker pun bisa diprogram untuk melakukan bunuh diri.  (jie)

Baca juga : Imunoterapi yang Menyembuhkan Jimmy Carter dari Melanoma