Imunoterapi anti PD-1 atau PD-1 inhibitor (pembrolizumab) sudah masuk Indonesia. Oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) disetujui untuk pengobatan kanker paru tipe karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK), dan kanker kulit ganas melanoma maligna.
Untuk pengobatan pada kanker paru KPKBSK, sebelumnya harus dilakukan dulu pemeriksaan biomarker PD-L1 pada sel kankernya. “Yang terbaik yakni bila ekspresi PD-L1 di atas 50%,” terang spesialis onkologi medik Dr. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM dari FKUI/RSCM, Jakarta, kepada OTC Digest. Pada kondisi demikian, imunoterapi dilakukan sebagai pengobatan tunggal.
Namun bila ekspresi PD-L1 berkisar 1-50%, anti PD-1 masih dapat diberikan dengan mempertimbangkan biaya dan manfaatnya. Berdasarkan Keynote 024 perlu dilakukan kemoterapi dulu selama enam siklus, baru kemudian dilanjutkan dengan imunoterapi anti PD-1.
Baca juga: Imunoterapi yang Menyembuhkan Jimmy Carter dari Melanoma
Ia melanjutkan, hadirnya anti PD-1 memberikan pilihan terapi yang lebih banyak bagi pasien kanker paru, dengan efikasi yang baik. Berdasarkan pengalaman Dr. dr. Andhika, “Pemberian obat ini meningkatkan progression-free survival hingga enam bulan.” Progression-free survival (PFS) adalah masa selama kanker tidak berkembang. Ini hal yang cukup menjanjikan, mengingat angka kesintasan (survival rate) pasien kanker paru sangat rendah.
“Dalam tiga tahun terakhir ini, euforia terhadap imunoterapi memang besar sekali. Terutama ketika mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter sembuh dari melanoma setelah mendapat PD-1 inhibitor,” tutur Dr. dr. Andhika. Sejak itu, obat ini mulai dicobakan ke berbagai jenis kanker. Misalnya kanker pankreas, kanker ginjal, kanker payudara, kanker empedu, hingga kanker kepala dan leher.
Pada kanker ginjal dan melanoma, imunoterapi bisa digunakan tanpa tes PDL-1 lagi karena berdasarkan penelitian terbukti hasilnya baik. Ditengarai, hampir 100% melanoma mengekspresikan PD-L1.
Baca juga: Harapan untuk Kanker Paru dari Imunoterapi
Sejauh ini, efikasi anti PD-1 pada kanker lain cukup baik, meski tidak sebaik pada KPKBSK dan melanoma. Berbagai pusat penelitian di seluruh dunia sedang mengumpulkan data angka keberhasilan untuk digunakan pada berbagai macam kanker.
Anti PD-1 biasanya diberikan pada pasien dengan status performa fisik yang kurang baik. “Obat untuk terapi sistemik haruslah yang tidak menurunkan status performa pasien,” ujarnya. Imunoterapi juga memiliki efek samping, tapi jauh lebih ringan bila dibandingkan kemoterapi. Efek samping yang biasa muncul akibat imunoterapi antara lain radang pada paru, dan dermatitis (radang kulit).
Namun pengalaman Dr. dr. Andika, efek samping tidak terlihat pada pasien-pasiennya. “Mungkin karena dosisnya kecil. Dosisnya itu 2 mg/kg berat badan. Bobot pasien Indonesia rata-rata rendah, jadi dosis yang diberikan hanya sekitar 100 mg,” paparnya. Pasiennya yang diterapi dengan obat ini tetap bisa beraktivitas, tanpa keluhan efek samping. Selain itu, pemberian anti PD-1 di Indonesia juga relatif singkat. “Biasanya hanya delapan sampai dua belas kali, karena harga obatnya sangat mahal,” imbuhnya. Sedangkan di negara maju, penggunaan anti PD-1 bisa sampai dua tahun, hingga penyakit kembali muncul.
Baca juga: Imunoterapi dalam Panduan Pengobatan Kanker Paru
Bahkan, pasiennya bisa beraktivitas seperti biasa dengan pemberian imunoterapi, sehingga kualitas hidupnya baik. Pasien tertua yang diberikan imunoterapi anti PD-1 oleh Dr. dr. Andhika berusia 82 tahun, yang menderita kanker pankreas. Pasien tersebut mendapat anti PD-1 sebanyak 12x. Pasien ini masih hidup sampai sekarang, setahun lebih setelah pengobatan dengan anti PD-1. “Selama pengobatan pun kualitas hidupnya bagus. Dia bisa beraktivitas sehari-hari seperti biasa,” lanjutnya.
Sayangnya, biaya pengobatan dengan imunoterapi sangatlah mahal; inilah kendala utama dalam pemberian imunoterapi. Padahal tanpa imunoterapi saja, pengobatan kanker sudah sangat mahal. Sehingga kabar buruknya, pemberian imunoterapi masih terbatas pada pasien dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Sesuai namanya kanker emmang membuuat “kantong kering”. “Penyakit ini membuat individu menjadi tidak produktif, dan biaya pengobatannya akan menguras keuangan,” sesal Dr. dr. Andhika. Belum ada obat yang bisa memusnahkan kanker 100%. Bagaimanapun juga, imunoterapi tetap memberi harapan yang menjanjikan. “Perlu dukungan dari pemerintah, agar penelitian mengenai imunoterapi terus berkembang,” pungkasnya. (nid)
_________________________________
Ilustrasi: Children photo created by lifeforstock - www.freepik.com