Vaksin AstraZeneca Tidak Mengandung Babi
vaksin_astrazeneca_tidak_mengandung_babi

Vaksin AstraZeneca Tidak Mengandung Babi, Yuk simak Teknologi Pembuatannya

Beberapa waktu lalu sempat ramai mengenai vaksin AstraZeneca yang disebut tidak halal karena mengandung tripsin babi. Pihak AstraZeneca telah menyatakan bahwa vaksin COVID-19 yang mereka produksi tidak bersinggungan dengan bahan hewani dalam proses pembuatannya. Para ahli pun telah mengungkapkan bahwa vaksin AstraZeneca tidak mengandung babi.

Menarik untuk terlebih dulu memahami proses pembuatan vaksinnya, sehingga kita bisa menyimpulkan sendiri apakah benar vaksin AstraZeneca tidak mengandung babi. Vaksin COVID-19 yang diproduksi AstraZeneca menggunakan adenovirus sebagai platform vaksinnya. “Ini merupakan salah satu bentuk vaksin yang cukup baru,” ujar  Dr. Rer. Nat. Apt. Anita Artarini, peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Teknologi ini cukup unik karena adenovirus digunakan untuk mencegah infeksi COVID-19, yang merupakan coronavirus. “Jadi menariknya adalah proses merekayasa suatu virus supaya bisa menjadi vaksin untuk mencegah infeksi virus lain,” ujar Anita, dalam diskusi daring bersama AstraZeneca, Senin (29/3/2021).

Tiap mahluk memiliki materi genetik yang disebut DNA. Ini adalah ‘resep’ yang menentukan sifat lahiriah, seperti bentuk hidung, mata, rambut, dan lain-lain. Konsep inilah yang diterapkan dalam membuat vaksin berbasis adenovirus. Di lab, para peneliti merekayasa ‘resep’ adenovirus. “Dalam DNA adenovirus, disisipkanlah materi genetik yang mengkode protein spike dari virus SARS-CoV-2. Jadi DNA bisa dipotong, lalu disambung dengan dengan DNA lain. Diperolehlah DNA adenovirus yang sudah membawa informasi bagaimana membuat protein spike,” tutur Anita.

Vaksin AstraZeneca tidak mengandung babi

Proses pembuatan vaksin belum selesai. Setelah rekayasa genetika pada adenovirus berhasil, resep DNA ini kemudian dalam bakteri E. coli. “Bakteri ini berfungsi hanya untuk mengkopi resepnya, tapi tidak bisa membuat adenovirusnya. Adenovirus hanya bisa dibuat dalam sel HEK 293,” jelas Anita. Setelah resep diperbanyak oleh E. coli, sel bakteri ini pun dipecahkan, agar resep yang telah diperbanyak tadi bisa diambil. Kemudian resep dimasukkan ke sel HEK 293, untuk membuat adenovirus.

Sel HEK 293 adalah sel mamalia. Sel ini bisa dibeli dari supplier tertentu misalnya dari Thermo Fisher, seperti yang dilakukan oleh tim Oxford dan AstraZeneca. Setelah dibeli, sel HEK 293 ini kemudian diperbanyak, untuk mencukupi kebutuhan pembuatan jutaan dosis vaksin. Namun sel HEK 293 memiliki sifat menempel di dasar wadah, sehingga perlu dilepas untuk memindahkannya ke wadah yang lebih besar untuk ditumbuhkan. Di sinilah tripsin diperlukan. “Tripsin ini berfungsi memotong protein yang menempel di  wadah, sehingga sel akan terlepas dari wadah,” terang Anita.

Apakah yang digunakan adalah tripsin babi? Ternyata tidak. “Berdasarkan dokumen dari tim Oxford dan AstraZeneca, untuk melepaskan sel digunakan enzim yang memiliki aktivitas mirip tripsin. Enzim ini berasal dari kapang atau jamur, yang dibuat secara rekombinan,” papar Anita. Enzim yang digunakan bernama  TrypLE™ Select,  yang juga dibeli dari Thermo Fisher. Dari sini sudah terlihat bahwa vaksin AstraZeneca tidak mengandung babi.

Lalu, di mana tripsin babi digunakan? “Yang memakai adalah Thermo Fisher, sebelum selnya dibeli oleh tim Oxford dan AstraZeneca, sehingga itu tidak bersinggungan langsung dengan produk vaksin,” imbuh Anita.

Dalam proses penyiapan sel HEK 293 oleh supplier, tripsin hanya digunakan untuk melepas sel dari wadah. Kemudian sel langsung dicuci, “Sel tidak boleh terlalu lama bersentuhan dengan tripsin, karena malah bisa mati.” Setelah itu sel segera dipertemukan dengan media khusus untuk menyimpan sel dalam keadaan beku. Sel beku inilah yang kemudian dijual ke produsen vaksin. Sejak proses pembekuan hingga vaksin selesai diproduksi, tripsin babi tidak lagi digunakan.

Pencucian berkali-kali

Sel HEK 293 beku yang dibeli oleh produsen vaksin, harus dicairkan dulu untuk bisa dibiakkan. Dalam proses pencairan, sel dipisahkan dari media pembekuan, dan ditambah dengan media baru untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Sel HEK 293 terus diperbanyak, dan disimpan dalam tangki raksasa sebagai bank sel master. Dari bank sel master ini, diambillah sebagian untuk bank sel kerja, dan sebagian lain untukmembuat bibit virus dengan cara memasukkan resep yang tadi sudah direkayasa, ke sel HEK 293. “Bibit adenovirus ini diperbanyak, lalu disimpan dalam ratusan wadah, dan akan digunakan untuk memproduksi bahan aktif vaksin,” ujar Anita.

Untuk produksi vaksin dalam skala komersil, akan digunakan sel HEK293 dari bank sel kerja, yang kemudian diberikan bibit virus, untuk ditumbuhkan di dalam sel. “Adenovirus memperbanyak diri di dalam sel. Agar bisa keluar dari sel HEK 293, maka sel harus dipecahkan. Barulah kita memanen adenovirus,” ucap Anita. Komponen-komponen dari sel HEK 293 tidak dibutuhkan untuk produksi vaksin; yang dibutuhkan hanyalah adenovirus yang berkembang di dalamnya. “Maka dilakukanlah secara bertahap proses klarifikasi dan pemurnian, sehingga diperoleh adenovirus murni,” tambahnya.

Inilah zat aktif vaksin. Zat aktif ini selanjutnya ditambahkan larutan khusus, agar zat aktif bisa disimpan dengan cara dibekukan. Ketika sudah siap diproduksi, larutan zat aktif ini diberi tambahan bahan-bahan lain, untuk menjaga adenovirus tidak rusak saat disimpan. Akhirnya, vaksin pun dikemas dalam vial-vial kecil, yang siap didistribusikan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas, bisa kita lihat bahwa vaksin AstraZeneca tidak mengandung babi. “Tripsin tidak masuk ke sel HEK 293 yang dipakai untuk menumbuhkan adenovirus,” tegas Anita. Setelah tripsin digunakan untuk melepaskan sel HEK 293 dari wadah di rantai supplier, sel ini pun dicuci berulang-ulang, dan pada akhirnya dipisahkan dan dibuang dari adenovirus murni yang dipakai sebagai zat aktif. (nid)

___________________________________

Ilustrasi: Medical photo created by freepik - www.freepik.com