Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bila vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca mengandung enzim tripsin yang berasal dari babi. Melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 menyatakan vaksin AstraZeneca adalah haram.
“Ketentuan hukumnya yang pertama vaksin COVID-19 AstraZeneca ini hukumnya haram karena dalam tahapan produksi memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam dalam konferensi persnya, Jumat (19/3/2021).
"Walau demikian, yang kedua, penggunaan vaksin COVID-19 produk AstraZeneca pada saat ini hukumnya dibolehkan," tambahnya.
Merespons pernyataan MUI tersebut, pihak AstraZeneca pun menjawab: “Kami menghargai pernyataan yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia.”
Namun, tukas AstraZeneca dalam siaran persnya, vaksin COVID-19 AstraZeneca merupakan vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk berasal dari hewan. Hal ini juga telah dikonfirmasikan oleh Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris.
Vaksin produksi AstraZeneca dan Universitas Oxford ini menggunakan vektor virus simpanse yang tidak bereplikasi berdasarkan versi yang dilemahkan dari virus flu biasa (yang menyebabkan infeksi pada simpanse) dan mengandung materi genetik dari protein spike virus SARS-CoV-2.
“Semua tahapan proses produksinya, vaksin vektor virus ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya. Vaksin ini telah disetujui di lebih dari 70 negara di seluruh dunia termasuk Arab Saudi, UEA, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko. Banyak Dewan Islam di seluruh dunia telah telah menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan oleh para muslim,” urai mereka.
Manfaatnya jauh melebihi efek samping
Sebagaimana diketahui vaksin AstraZeneca ini juga tengah ‘digoyang’ issue adanya efek samping vaksin berupa penggumpalan darah, dan membuat beberapa negara Uni Eropa menangguhkan pemakaian vaksin ini.
Tentang hal tersebut Badan Pengawas Obat Eropa (European Medicine Agency/EMA) menegaskan bahwa manfaat Vaksin COVID-19 AstraZeneca jauh melebihi risikonya.
Komite Penilaian Risiko Farmakovigilan (Pharmacovigilance Risk Assessment Committee/PRAC) dari EMA menyimpulkan bahwa tidak ada peningkatan risiko pembekuan darah secara keseluruhan (peristiwa tromboembolik) dari penggunaan Vaksin COVID-19 AstraZeneca.
Namun, PRAC juga menyimpulkan bahwa, pada kejadian tromboembolik serius dengan trombositopenia yang sangat jarang terjadi, tidak terbukti adanya hubungan kausal dengan vaksin, tetapi mungkin perlu dianalisis lebih lanjut.
Dalam uji klinis (dipublikasikan di jurnal The Lancet) menemukan bahwa vaksin COVID-19 AstraZeneca 100% dapat melindungi dari penyakit yang parah, rawat inap dan kematian, lebih dari 22 hari setelah dosis pertama diberikan.
Penelitian vaksinasi yang telah dilakukan berdasarkan model penelitian dunia nyata (real-world) pada 5,4 juta orang menemukan bahwa satu dosis vaksin mengurangi risiko rawat inap hingga 94% di semua kelompok umur, termasuk bagi mereka yang berusia 80 tahun ke atas. Riset ini dilakukan oleh Dr Eleftheria Vasileiou PhD, dkk., dari Usher Institute, The University of Edinburgh, Inggris. (jie)
Baca juga : WHO: Tidak Ada Hubungan Sebab Akibat Antara Vaksin AstraZeneca Dengan Penggumpalan Darah