Hingga saat ini para ilmuwan dan peneliti di seluruh dunia masih berproses untuk menemukan obat khusus COVID-19. Di awal pandemi ramai diberitakan tengan manfaat hidrokloroquin atau dextametasone untuk menyembuhkan, bahkan mencegah COVID-19. Di dalam negeri ada Hadi Pranoto yang mengklaim menemukan obat herbal untuk COVID-19. Padahal pembuatan obat membutuhkan proses panjang.
Sebelum ramai kasus Hadi Pranoto, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengklaim menemukan kombinasi obat untuk COVID-19. Belakangan Unair mengkonfirmasi bahwa hasil riset tersebut merupakan hasil pengujian secara in-vitro (pengujian sel di laboratorium), bukan pada manusia langsung.
Unair telah melakukan riset dengan mengombinasikan beberapa jenis obat; lopinavir (obat HIV), hidrokloroquin (obat malaria), dan beberapa antibiotik.
Riset di Australia juga mengembangkan obat berbasis obat pembasmi kutu rambut Ivermectin untuk virus SARS-CoV-2. Data laboratorium dari peneliti di Monash University dan Doherty Institute menunjukkan bahwa Ivermectin mampu menghentikan replikasi SARS-CoV-2. Tapi perlu dicatat, riset tersebut masih tahap awal.
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi, Prof. Ali Gufron Mukti, MSc, PhD menjelaskan bahwa dalam proses penemuan obat, termasuk obat COVID-19, harus memelalui prosedur yang panjang karena menyangkut keamanan manusia.
"Obat adalah medikamentosa, ini bisa berarti obat (zat penyembuh) atau racun kalau dosisnya salah. Jadi keamanan penting. Sebelum seseorang melakukan penelitian harus menyusun proposal yang mesti mendapatkan ethical clearance dari komite etik penelitian kesehatan," ujar Prof. Ali dalam dialog di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Jakarta, Kamis (6/8).
Apalagi jika penelitian melibatkan subyek (manusia). Peneliti harus menjaga kerahasiaan, keselamatan dan keamanan subyek; dengan inform concern. Dan subyek tidak boleh dipaksa.
Prof Ali juga mengungkapkan bila obat sudah ditemukan, proses pertama dipresentasikan kepada kolega dalam sebuah jurnal penelitian, sebelum diumumkan ke masyarakat. “Fenomena sekarang yang sedang ramai adalah prosedur tersebut dibalik. Diumunkan dulu ke media dan menjadi ramai,” ujar Prof. Ali.
Sebenarnya pemerintah terbuka dan mengapresiasi kepada siapa saja yang ingin ikut berpartisipasi dalam penemuan obat COVID-19 di Indonesia. Pemerintah, imbuh Prof. Ali, akan memfasilitasi serta mendukung segala penelitian dalam penemuan obat COVID-19 asal sesuai dengan koridor dan etika yang ada.
Selain itu, usaha memutus penyebaran COVID-19 juga dilakukan dengan berbagai inovasi yang telah banyak tercipta. Prof. Ali mengungkapkan, peneliti dan dosen di Indonesia telah menghasilkan lebih dari 60 inovasi.
“Berbagai inovasi selama 4 bulan terakhir telah dihasilkan. Seperti robot perawat, rapid test kit dan lain sebagainya. Bahkan PCR yang biasanya kita impor, sekarang tidak. Peneliti Indonesia telah membuatnya. Ada juga mobile laboratory dimana laboratorium bisa menghampiri masyarakat. Terakhir adalah ventilator canggih yang dibuat oleh UGM, yang kalau kita impor itu bisa miliaran tapi ini hanya 450 juta," tutupnya. (jie)
Baca juga : Menyikapi Temuan Hadi Pranoto, Ahli : Herbal Tidak Bisa Gantikan Peran Vaksin Sebagai Obat COVID-19