Indra Rudiansyah, University of Oxford dan Ujang Purnama, University of Oxford
Universitas Airlangga (Unair) saat ini sedang melakukan riset pencarian obat COVID-19. Baru-baru ini mereka mengumumkan menemukan kombinasi obat untuk mengobati penyakit COVID-19.
Peneliti lain menganggap klaim Unair terlalu dini dan dapat memunculkan salah tafsir, karena belum ada data uji klinis yang dipublikasikan.
Belakangan Unair mengkonfirmasi bahwa hasil riset tersebut merupakan hasil pengujian secara in-vitro (pengujian sel di laboratorium), bukan pada manusia langsung.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga menegaskan kombinasi obat yang diteliti UNAIR belum melalui tahapan uji klinis. BPOM baru menerima protokol pengujian yang rencananya akan dilakukan akhir Juli ini.
Apa saja obat yang diteliti peneliti UNAIR dan bagaimana prospek obatan-obatan tersebut dalam penyembuhan pasien COVID-19?
Riset calon obat dari Surabaya
Dalam riset untuk menemukan obat COVID-19, Unair menguji Lopinavir, Ritonavir, dan Hydroxychloroquine, serta tiga antibiotik azithromycin, clarithromycin, dan doxycycline.
Lopinavir merupakan zat penghambat enzim protease yang khusus dikembangkan untuk menghambat penggandaan virus HIV.
Ritonavir, yang biasa diberikan bersamaan dengan lopinavir, merupakan agen penstabil yang bekerja dengan cara menghambat aktivitas cytochrome p450 (enzim yang terlibat dalam metabolisme obat) sehingga memperpanjang waktu paruh dari lopinavir.
Sedangkan azithromycin, clarithromycin, dan doxycycline merupakan antibiotik yang memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri, yang dalam hal ini digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Para peneliti Unair mengkombinasikan enam obat ini menjadi lima regimen.
Selain itu Unair juga menguji dua 2 produk sel punca untuk uji coba terapi COVID-19.
Mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencabut hydroxychloroquine dari daftar obat uji untuk COVID-19 dan beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa calon obat tersebut tidak memberikan keuntungan klinis dalam terapi COVID, studi lebih baik difokuskan pada lopinavir dan ritonavir, atau mengganti obat tersebut dengan kandidat lain yang lebih prospektif.
Berbeda dengan hydroxychloroquine, lopinavir dan ritanovir mendapat respons yang lebih positif dari kalangan saintis.
Lopinavir terbukti efektif untuk menghambat perbanyakan virus SARS-Cov-1 (SARS) secara in-vitro (uji laboratorium) ketika terjadi epidemik pada 2003.
Hingga saat ini, lopinavir/ritonavir masih berada dalam daftar obat uji baik pada uji klinis Solidarity dan Recovery.
Selain Unair, banyak peneliti dunia yang melakukan riset penggunaan hydroxychloroquine, lopinavir dan ritonavir untuk obat COVID-19 yang dilakukan.
Ketiga obat tersebut telah masuk ke dalam daftar obat yang diujikan bersamaan dengan remdesivir dan interferon beta di dalam uji klinis multinasional bernama Solidarity Trial yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Obat lain, yaitu dexamethasone hasil uji klinis dexamethasone saat ini juga telah terbukti dapat menurunkan tingkat kematian pada pasien COVID-19 yang sangat parah, yang memerlukan bantuan ventilator.
Potensi sel punca
Selain meneliti potensi obat-obatan untuk penyembuhan COVID, Unair juga meneliti sel punca Hematopoietic stem cells (HSCs) dan Natural Killer cells (NK) (sel punca hematopoetik dan sel pembunuh alami).
HSCs adalah sel punca yang akan berubah menjadi sel-sel darah.
Sedangkan NK cells merupakan salah satu sel imun bawaan yang memiliki kapasitas sebagai antigen presenting cells (APC) atau sel yang dapat dikenali oleh sistem imun. Sel imun bawaan ini didapatkan dari HSCs yang diubah dengan metode tertentu di laboratorium.
NK cells ini diproduksi secara alami oleh tubuh tapi berkurang seiring bertambahnya usia.
Perbanyakan sel imun ini melalui diferensiasi (perubahan sel ke bentuk sel lain) dari sel punca secara in-vitro (ujicoba di laboratorium) dan menyuntikannya kepada pasien populasi berusia 60 tahun ke atas (salah satu populasi yang rentan terhadap infeksi SARS-COV-2) diprediksi oleh para peneliti dapat membantu tubuh untuk memerangi virus lebih baik.
Riset untuk terapi sel punca bukan hal asing di dunia medis, namun penggunaannya secara klinis masih sangat terbatas. Administrasi Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat baru-baru ini telah memberikan lampu hijau untuk uji klinis sel punca pada pasien COVID.
Salah satu produk yang saat ini diujikan adalah CYNK-001-COVID-19 yang merupakan NK cells yang diproduksi dari sel-sel plasenta manusia.
Hingga saat ini belum ada informasi terkait penggunaan HSCs secara klinis untuk terapi COVID-19, tapi proses pemberian terapi ini umumnya diberikan melalui proses transplantasi. Ini mengisyaratkan produk ini akan masih jauh untuk dijadikan sebagai obat COVID-19.
Meski tidak termasuk ke dalam daftar yang disebutkan Unair, stem cell lain, Mesenchymal Stem Cell (MSCs), banyak diteliti sebagai calon obat untuk pasien COVID-19.
Beberapa studi uji klinis MSCs untuk terapi COVID-19 telah dimulai di Cina, namun belum ada hasil yang dipublikasikan.
Mengingat sel punca merupakan suatu pengobatan yang masih sangat baru, maka obat ini belum akan tersedia secara luas dalam waktu dekat.
Status penggunaan obat dan produk sel punca di Indonesia
Penggunaan obat di Indonesia diatur oleh Badan POM (BPOM). Saat ini, belum ada obat teregistrasi yang dikhususkan untuk pengobatan COVID-19.
Menurut informasi yang dikeluarkan BPOM hingga 19 Juni 2020, chloroquine dan hydroxychloroquine berstatus sebagai obat uji untuk obat COVID-19. Penggunaannya terbatas hanya pada saat darurat dan harus diberikan di rumah sakit.
BPOM menjelaskan penggunaan kedua obat uji tersebut tidak meningkatkan risiko kematian pasien COVID-19. Meski diketahui dapat memberikan efek samping pada jantung bagi sebagian pasien, efek ini dapat diantisipasi sebelumnya.
Hingga saat ini, belum ada informasi resmi dari BPOM terkait status penggunaan lopinavir dan ritonavir untuk COVID-19 di Indonesia. Karena itu, mungkin rencana uji klinis lopinavir dan ritonavir yang dirancang ke dalam tiga “adonan” berbeda oleh Unair merupakan uji klinis pertama untuk pasien COVID-19 di Indonesia.
Hingga saat ini, hanya terdapat satu produk berbasis sel punca untuk anti penuaan yang telah mendapatkan izin edar dari BPOM.
Prospektif dapat dipertimbangkan
Pencarian obat untuk suatu penyakit tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang melewati serangkaian banyak pengujian.
Pengetahuan kita terkait penyakit COVID-19 ini masih terbatas namun akan semakin bertambah melalui riset-riset seiring berjalannya waktu sehingga arah pengobatan juga dinamis.
Sangat menguntungkan jika kita memiliki beberapa calon obat untuk diujikan, tapi fokus utama tetap pada calon obat yang paling prospektif. Tentu saja harus didukung oleh bukti empiris dari hasil penelitian.
Dengan terbatasnya sumber daya yang ada saat ini dan angka kematian yang terus bertambah, sebaiknya calon yang diprioritaskan adalah yang dapat segera digunakan jika terbukti efektif.
Hal ini perlu dipertimbangkan oleh pemerintah yang mendanai riset bahwa calon obat yang diujikan benar-benar merupakan kandidat yang prospektif, sehingga mendukung percepatan penemuan obat COVID-19 di Indonesia.
Indra Rudiansyah, DPhil Student, Jenner Institute, Nuffield Department of Clinical Medicine, University of Oxford dan Ujang Purnama, DPhil Student, Department of Physiology, Anatomy, and Genetics, University of Oxford
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
____________________________________________
Ilustrasi: Medical photo created by teksomolika - www.freepik.com