Obat atau ramuan herbal mengklaim mampu mencegah dan menyembuhkan penyakit A-Z. Yang terbaru adalah ramuan herbal temuan Hadi Pranoto mampu menciptakan antibodi COVID-19. BPOM mewanti-wanti agar jangan terjebak sebuah klaim, karena herbal tidak bisa menggantikan peran vaksin sebagai obat COVID-19.
Hadi Pranoto menyebutkan ia memiliki tim yang telah melakukan riset tentang herbal sejak tahun 2000-an. Untuk COVID-19, Hadi meneliti dengan cara menyamakan dan mempelajari genetik COVID-19.
Menggunakan ramuan manggis, sirsak, kelapa, pegagan, bawang putih dan bahan-bahan lainnya, diyakini bisa menimbulkan antibodi untuk virus corona tersebut.
"Ini sifatnya herbal, seperti jamu, jadi jangan disalah sampaikan bahwa ini vaksin. Ini herbal yang sifatnya memberikan kekuatan pada tubuh manusia untuk melawan COVID-19," kata Hadi, dilansir dari Kompas.
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Badan Litbang Kesehatan Kemenkes, Akhmad Saikhu, MSc. PH, mengatakan bahwa satu-satunya obat untuk COVID-19 disebabkan oleh virus adalah anti-virus atau vaksin yang masih dalam proses penelitian.
“Penggunaan herbal adalah untuk komorbit COVID-19, artinya bisa dipergunakan untuk meringankan gejala-gejala penyerta,” katanya dalam dialog virtual di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Jakarta.
Pada kesempatan yang sama, Togi Junuce Hutadjulu, Direktur Standarisasi Obat Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Zat Adiktif, menjelaskan hingga saat ini belum ada obat yang bisa diklaim / diindikasikan untuk COVID-19.
“Obat herbal juga belum. Untuk vaksin sekarang sedang berjalan (penelitiannya), dan BPOM mengawal untuk memastikan vaksin ini nantinya aman digunakan dalam rangka pencegahan ataupun treatment COVID-19,” katanya.
Herbal harus terstandar untuk bisa disebut obat
Akhmad Saikhu menambahkan bahwa obat tradisional terdiri dari tiga kategori yaitu jamu, obat herbal terstandarisasi dan fitofarmaka.
Jamu merupakan minuman yang berasal dari tanaman yang khasiatnya dibuktikan secara turun-temurun (belum berdasarkan standar uji klinis). Jamu tidak boleh mengklaim memberikan kesembuhan penyakit. Diproduksi secara sederhana dengan peralatan yang sederhana dan bahan bakunya belum terstandar.
Sementara obat herbal terstandar khasiatnya sudah melalui uji praklinis pada hewan, bahan bakunya telah distandardisasi dan diproduksi di fasilitas yang modern. Fitofarmaka merupakan ‘kasta’ tertinggi karena sudah melalui uji praklinis dan klinis pada manusia.
Mengenai kegiatan mencampur ramuan-ramuan jamu, Badan Litbang Kesehatan Kemenkes sudah mengeluarkan daftar ramuan jamu yang dapat dikonsumsi secara langsung sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan.
Bagi masyarakat yang terbiasa mengonsumsi jamu, Akhmad Saikhu menganjurkan, supaya tetap meneruskan pengonsumsian selama jamu tersebut meningkatkan daya tahan tubuh, atau meringankan gejala penyakit.
"Untuk masa-masa COVID-19 ini, justru ditingkatkan saja takarannya,” tambahnya.
Terkait obat tradisional yang tersebar di pasaran, Togi menegaskan bahwa obat tersebut juga harus mendapatkan izin dari BPOM. Masyarakat juga diminta melakukan pengecekan pada kemasan, label, nomor izin edar, serta tanggal kedaluwarsa.
Apabila masih terdapat keraguan terhadap suatu produk, masyarakat dapat menghubungi contact center BPOM. Togi juga meminta masyarakat untuk tetap waspada terhadap klaim dalam suatu produk, baik obat modern maupun obat tradisional, khususnya di situasi pandemi COVID-19 ini. (jie)