Terapi “cuci otak” telah dibuktikan secara ilmiah oleh Mayjen TNI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad (K), dalam disertasi program doktoral di Universitas Hasanuddin, Makassar. Seperti apa metode “cuci otak” dalam disertasi tersebut?
Disertasi dr. Terawan telah dipublikasikan dalam Bali Medical Journal, dengan judul Intra Arterial Heparin Flushing Increases Manual Muscle Test – Medical Research Councils (MMT-MRC) Score in Chronic Ischemic Stroke Patient.
Dalam pengantar disertasi dijelaskan, penurunan kekuatan otot pada penderita stroke bisa memengaruhi kualitas hidup. Manual Muscle Testing (MMT) adalah metode pengukuran standar kekuatan otot. Riset tersebut bertujuan untuk menemukan kemungkinan peningkatan skor tes otot manual (MMT), setelah pemberian infus heparin di pembuluh darah arteri (intra arterial heparin flushing / IAHF) pada penderita stroke iskemik kronis (karena sumbatan).
Riset yang dilakukan dr. Terawan adalah penelitian eksperimental, dengan uji klinis terkontrol secara acak. Subyek penelitian adalah 75 pasien di Pusat Unit Cerebrovaskular RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.
Baca juga : Mengenal Heparin, Obat Dalam Terapi “Cuci Otak”
Penilaian MMT dilakukan sebelum dan sesudah pemberian infus heparin. Studi tersebut menemukan tingginya skor MMT – MRC (medical research councils) pada pasien stroke, yang mendapat infus heparin. Hal tersebut mengindikasikan, pemberian infus heparin berhubungan dengan perbaikan kekuatan otot. Tingginya skor MMT-MRC pada penderita stroke iskemik, akan memberi hasil perawatan yang lebih baik. Demikian kesimpulan dalam disertasi Dr. dr. Terawan.
Efek samping
Studi yang dilakukan dr. Fritz Sumantri Usman Sr, SpS, FINS., ahli penyakit saraf dan saraf intervensi dari RSUP Fatmawati, Jakarta, menjelaskan digital substraction angiography (DSA) atau yang disebut dr. Terawan sebagai terapi “cuci otak” ini tetap berisiko.
Klasifikasi internasional tentang komplikasi neurologikal menyatakan beberapa tingkatan komplikasi. Yakni (a) sementara, jika menghilang dalam 24 jam; (b) reversible (dapat kembali) jika terjadi >24 jam, tapi kurang dari 7 hari; (c) permanen, jika komplikasi bertahan lebih dari 7 hari.
Penelitian berjudul Safety of Cerebral Digital Subtraction Angiography: Complication Rate Analysis tersebut menyimpulkan, walau DSA dianggap aman, dari 200 subyek yang melakukan prosedur DSA, 1 orang (0,5%) mendapat komplikasi permanen. Dan komplikasi sementara atau reversible tetap ditemukan.
Penelitian lain oleh Usman, dkk., tahun 2012 menyatakan, risiko komplikasi neurologis DSA antara 0,05-2,9%, sementara risiko non neurologis antara 0,05-14,7%. Risiko kematian antara 0,05-0,08%.
Riset tanggapan
Sebenarnya pada tahun 2016, Prof. Dr. dr. M. Hasan Machfoed, SpS (K), MS, Ketua Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia (Perdossi) telah menerbitkan tulisan berjudul Is the Cerebral Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF), Beneficial for the Treatment of Ischemic Stroke? yang dimuat dalam jurnal ilmiah BAOJ Neurology, untuk menanggapi fenomena kontroversi terapi “cuci otak”.
Dalam tulisannya, Prof. Hasan menjelaskan, sejak tahun 2012 tanpa didahului penelitian mendalam, terapi “cuci otak” telah dilakukan untuk penanganan stroke iskemik akut atau kronis. Sebagai acuan, Prof. Hasan memakai panduan yang dikeluarkan American Heart Association (AHA) dan American Stroke Association (ASA), tentang penanganan storke iskemik akut. Yakni melakukan tindakan recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) dengan memasukkan obat penghacur atau pelarut gumpalan darah.
Atau, melakukan perawatan endovascular seperti pemasangan ring dan angioplasti (memasukkan cairan kontras ke dalam pembuluh darah untuk melihat kondisi pembuluh darah menggunakan sinar X). Di sisi lain, belum ada panduan untuk stroke iskemik kronis. Terapi yang masih diteliti manfaatnya adalah stem cell (sel punca).
Teknik DSA yang adalah modifikasi teknik angioplasti, sudah menjadi prosedur diagnostik standar untuk melihat kelainan pembuluh darah otak. Kata Prof. Hasan, “Heparin yang dipakai dalam DSA atau teknik ‘cuci otak’ dimaksudkan untuk mengurangi pembentukan gumpalan darah, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.”
Dalam penelitian lain, heparin terbukti gagal sebagai terapi pengobatan pada penderita stroke. Pemakaian heparin untuk pengobatan stroke iskemik akut telah dihentikan di Korea.
“Tanpa diikuti prosedur berikutnya, seperti pemasangan stent (ring) atau koil, peran DSA ada pada ranah diagnostik, bukan prosedur terapeutik. Tidak ada referensi yang menyebutkan angiografi otak dengan heparin bisa dipakai untuk terapi stroke iskemik, akut maupun kronis,” tulis Prof. Hasan.
Penundaan status oleh IDI
Sebagaimana diketahui, karena terapi “cuci otak” Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengeluarkan rekomendasi pemberhentian untuk sementara waktu dr. Terawan sebagai anggota IDI.
Sampai saat ini polemik ini masih berlanjut. Yang terbaru, Pengurus Besar IDI menunda pelaksanaan keputusan MKEK tersebut. Ketua Umum PB IDI Prof. dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG, menyatakan keputusan tersebut telah disepakati dalam rapat Majelis Pimpinan Pusat PB IDI, Minggu 8 April 2018.
“Hingga saat ini, dr. Terawan Agus Putranto masih berstatus sebagai anggota PB IDI,” paparnya dalam konferensi pers, Senin 9 April 2018. Ia juga menjelaskan dr. Terawan telah menghadiri forum pembelaan yang digelar PB IDI, Jumat 6 April 2018. Selanjutnya, PB IDI bersama Kementerian Kesehatan melalui Health Technology Assessment (HTA) akan menguji metode pengobatan yang dilakukan dr. Terawan. (jie)