Kasus keracunan makanan sedang marak belakangan ini, diare adalah salah satu akibatnya. Penanganan diare mengutamakan pencegahan dehidrasi. Obat antidiare, seperti attapulgite bisa diberikan pada kondisi tertentu.
Diare adalah penyebab kematian kedua pada balita di Indonesia. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi diare pada bayi < 1 tahun sebesar 6,4%, balita 7,6% dan di semua kelompok umur sekitar 4,3%.
Ini membuat diare sebagai masalah kesehatan yang signifikan dan perlu diwaspadai. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan diare sebagai kondisi intensitas keluar tinja lebih dari tiga kali dalam sehari dengan konsistensi yang lebih cair dan encer dari biasanya.
“Infeksi saluran cerna adalah penyebab diare tersering, bisa disebabkan oleh virus (rotavirus, norovirus atau adenovirus), bakteri (E.coli, Salmonella spp, dll) hingga parasit,” kata apt. Yuri Pratiwi Utami, S.Farm, M.Si, C.Herbs.
Bisa juga akibat konsumsi makanan terkontaminasi, basi, beracun atau kurang higienis. Termasuk alergi makanan, dan konsumsi pemanis pengganti gula – sorbitol atau mannitol – dalam jumlah banyak bisa memicu diare.
Faktor lingkungan, seperti sanitasi yang buruk, perilaku dan higienitas individu serta status gizi juga adalah faktor risiko diare.
Rehidrasi dan obat adsorben
Prinsip utama penanganan diare adalah rehidrasi, dengan oralit atau cairan elektrolit lainnya.
Oralit merupakan pengobatan wajib lini pertama untuk mencegah dan mengatasi komplikasi paling fatal pada diare, yakni dehidrasi dan ketidakseimbanagn elektrolit, Yuri menerangkan.
Khusus untuk anak-anak, suplementasi zinc diberikan untuk mengurangi durasi diare dan mencegah kekambuhan diare dalam 2-3 bulan ke depan, sesuai Pendoman LINTAS Diare (Kemenkes / WHO).
“Zinc harus diberikan selama 10 hari penuh, walaupun diare sudah berhenti, untuk memastikan manfaat pencegahan kekambuhan tercapai,” terang Yuri kepada OTC Digest.
Probiotik (bakteri baik, misalnya golongan Lactobacillus casei atau Bifidobacterium) bermanfaat untuk mempercepat pemulihan dengan mengembalikan keseimbangan flora normal usus yang terganggu oleh infeksi.
Pemberian obat antidiare bersifat terapi tambahan untuk mengurangi gejala. Salah satu obat antidiare yang banyak dijual adalah tipe adsorbent (penyerap), seperti attapulgite. Ini adalah mineral alami (magnesium aluminum phyllosilicate) yang berfungsi sebagai adsorben.
“Attapulgite adalah mineral lempung alami yang memiliki struktur berlapis dan berpori. Ia mengikat zat beracun, bakteri dan air di saluran cerna. Hal ini mengurangi hilangnya cairan dari tubuh, dan membuat feses lebih padat,” imbuh Yuri. “Digunakan pada diare nonspesifik (yang tidak diketahui sebabnya secara jelas) dan diare ringan.”
Mekanisme kerja attapulgite
Attapulgite memiliki tiga mekanisme kerja dalam membantu mengatasi diare:
- Menyerap toksin dan bakteri. Ia mampu mengikat berbagai zat di lumen usus, termasuk toksin yang dihasilkan bakteri penyebab diare, serta bakteri itu sendiri.
- Menyerap air dan elektrolit berlebih. Struktur pori-porinya memungkinkan obat ini menyerap air dan elektrolit berlebih di feses. Membantu mengurangi konsistensi cair dari tinja dan membuatnya lebih padat.
- Pembentukan lapisan pelindung. Membentuk lapisan pelindung di mukosa usus, membantu melindungi dinding usus dari iritasi lebih lanjut.
“Dengan memperlambat transit feses dan menyerap air, attapulgite secara tidak langsung membantu mengurangi kehilangan cairan yang cepat. Namun ini tidak menggantikan peran vital oralit dalam mengganti cairan dan elektrolit yang sudah hilang,” Yuri menegaskan.
Imanuel Aryo Dhirgantoro, selaku Sales Manager PT. Harsen Laboratories menambahkan, attapulgite memiliki daya serap lebih tinggi, dibanding kaolin (jenis absorben lain). “Partikel berporinya mampu menyerap 3,5 – 7 kali lebih baik dibanding kaolin, sehingga lebih efektif mengatasi diare,” katanya.
Aryo menambahkan, “Keunggulan lainnya adalah minim interaksi obat. Attapulgite jarang mengganggu efektivitas terapi lain, sementara kaolin dan pektin bisa menurunkan absorpsi beberapa obat bila diberikan bersamaan.”
Waspadai tanda bahaya
Bila tidak ditangani dengan benar/cepat, diare berpotensi mengakibatkan komplikasi seperti dehidrasi berat (syok hingga penurunan kesadaran), gangguan keseimbangan elektrolt, atau kerusakan organ (gagal ginjal akut).
Bahkan pada diare kronis (jangka panjang) bisa menyebabkan malnutrisi, anemia dan gangguan tumbuh kembang anak-anak.
“Swamedikasi (pengobatan mandiri) hanya aman dilakukan pada kasus diare akut ringan hingga sedang, dan tanpa gejala dehidrasi berat atau adanya tanda bahaya (diare berdarah, demam tinggi, nyeri perut hebat, muntah terus menerus),” terang Yuri.
“Bila ada tanda dehidrasi berat (mata cekung, kulit dicubit kembali sangat lambat, tidak buang air kecil lebih 6-8 jam, penurunan kesadaran), atau ada tanda bahaya, serta diare tidak membaik dalam 2 hari (dewasa) atau 3 hari (anak/balita), segera periksa ke dokter,” pungkasnya. (jie)