Kanker ovarium masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Gejala awal yang tidak spesifik membuat sebagian besar pasien baru terdiagnosis pada stadium lanjut. Bahkan setelah menjalani operasi dan kemoterapi, tingkat kekambuhan tetap tinggi dalam tiga tahun pertama. Kondisi ini menunjukkan pentingnya rangkaian penanganan dan terapi yang terintegrasi sejak awal hingga lanjutan.
Keberhasilan pengobatan kanker ovarium sendiri bergantung pada beberapa langkah yang saling melengkapi. Salah satu faktor terpenting adalah pembedahan dengan prinsip zero residu atau tidak ada sisa tumor yang tampak, yang terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pasien.
Setelah itu, pasien perlu menjalani kemoterapi sesuai interval yang ditentukan untuk menjaga efektivitasnya. Setelah masuk fase remisi pasca pengobatan awal, kanker ovarium stadium lanjut (dikenal memiliki tingkat kekambuhan tinggi) sering kali menuntut pasien untuk kembali menjalani kemoterapi berulang.
Dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk, menekankan pentingnya komitmen pasien dalam menjalani proses penanganan kanker ovarium. “Mayoritas pasien kanker ovarium baru terdiagnosis pada stadium 3 atau 4 akibat gejala awal yang tidak spesifik dan belum adanya metode skrining yang efektif.”
“Risiko kekambuhan setelah kemoterapi awal pun sangat tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran pasien terhadap proses pengobatan lanjutan sangatlah penting agar penanganan dapat dilakukan secara tepat,” katanya.
Rekomendasi ESMO (European Society For Medical Oncology) dan NCCN (National Comprehensive Cancer Network) menyebutkan pemeriksaan HRD (Homologous Recombination Deficiency) dan BRCA (Breast Cancer gene 1 dan 2) dilakukan sedini mungkin pada pasien kanker ovarium setelah operasi untuk memastikan terapi lanjutan yang tepat.
Sekitar 50% pasien kanker ovarium stadium lanjut memiliki status HRD-positif, termasuk yang tidak memiliki mutasi BRCA. HRD adalah kondisi dimana tubuh tidak dapat memperbaiki kerusakan pada DNA, dan menjadi penanda biologis (biomarker) penting untuk menentukan apakah pasien perlu menjalani terapi maintenanceberbasis PARP (Poly ADP-Ribose Polymerase) inhibitor seperti Olaparib.
Terapi maintenance kini telah menjadi bagian integral dari pengobatan kanker ovarium stadium lanjut dan sudah direkomendasikan sebagai standar perawatan oleh pedoman internasional tersebut.
Studi PAOLA-1 menunjukkan pasien HRD-positif yang menjalani terapi maintenance dengan Olaparib dan Bevacizumab memiliki masa bebas penyakit hingga 37 bulan, hampir dua kali lebih lama dibanding terapi dengan Bevacizumab saja.
Sementara itu, studi SOLO-1 membuktikan bahwa pasien dengan mutasi BRCA yang menggunakan Olaparib memiliki risiko progresi 70% lebih rendah, dan hampir setengahnya tetap dalam remisi setelah lima tahun.
Dengan pemahaman lebih baik mengenai peran pemeriksaan HRD serta pemanfaatan terapi maintenance, akan lebih banyak pasien kanker ovarium dapat memperpanjang masa bebas penyakit dan meraih kualitas hidup yang lebih baik.
“Akses terhadap pemeriksaan HRD dan maintenance therapy bagi pasien kanker ovarium di Indonesia sangat penting. Data klinis global telah membuktikan manfaat signifikan terapi ini dalam memperpanjang masa bebas penyakit. Kami berharap lebih banyak pasien di Indonesia dapat memperoleh manfaat dari maintenance therapy, sehingga kualitas hidup mereka semakin baik,” tutup dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia. (jie)