Tahukah Anda jika setengah kasus kanker paru terjadi di Asia (51%), dan merupakan 1 dari 5 penyebab kematian akibat kanker di Asia. Studi Globocan International Agency for Research on Cancer (IARC) 2012 menyebutkan terdapat 14,1 juta kasus baru kanker paru, dengan jumlah kematian sebesar 8,2 juta. Kanker ini adalah penyebab kematian utama pada pria (30%), dan kedua pada wanita (11,1% ; setelah kanker payudara). Sayangnya kerap kali kanker ini tidak menimbulkan gejala.
Secara umum, kesadaran masyarakat Indonesia tentang kanker paru masih rendah, dan kerap kali salah diagnosis, dianggap sebagai TB (tuberkulosis). Oleh karena itu banyak pasien kanker terlambat melakukan pengobatan.
(Baca juga: Kanker Paru Mematikan, Sulit Dideteksi)
Studi di RS. Moerwardi, Surakarta, menunjukkan bahwa 28,7% penderita kanker paru mengalami kesalahan diagnosa dengan TB pulmonari dan memiliki sejarah pengobatan anti-TB. Sebanyak 73,4% dari pasien tersebut telah menjalani pengobatan anti-TB selama lebih dari 1 bulan, namun hanya 2,5% yang terdiagnosis menderita kanker paru dengan TB pulmonari.
Dijelaskan oleh dr. Niken Wastu Palupi, MKM, Kepala Subdit Kanker dan Kelainan Darah, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes RI, penderita TB termasuk ke dalam golongan berisiko tinggi menderita kanker paru. Kondisi ini diperburuk dengan keterlambatan penanganan, akibat penderita dengan gejala batuk berulang (>2 minggu), ada sesak napas, nyeri dada dan/atau batuk darah, tapi tidak segera berobat ke dokter. “Atau tidak ada gejala gangguan saluran napas, tapi diikuti dengan berat badan turun drastis, ada benjolan terutama di leher dan dada, serta kelelahan yang tidak wajar,” tambah dr. Niken.
(Baca juga: Pemeriksaan PD-L1 untuk Kanker Paru)
Di satu sisi ada kemungkinan pasien menderita TB sekaligus kanker paru. “Dan kalau TB-nya diobati, kankernya diam. Begitu selesai pengobatan TB, kanker menjadi lebih parah,” papar dr. Elisna Syahruddin, Ph.D, Sp.P (K), dari RSUP Persahabatan, Jakarta.
Pada TB terjadi infeksi paru yang menyebabkan peradangan sel. Kondisi ini berisiko menyebabkan sel berkembang menjadi tidak normal. Menjadi kanker paru. Jika sudah melakukan pengobatan TB selama satu bulan tapi tidak ada perbaikan, patut dicurigai itu adalah kanker paru. “Segera lakukan pemeriksaan ulang. Jangan menunggu lebih lama. Sel kanker berkembang cepat,” tambah dr. Elisna.
Keterlambatan diagnosis berisiko menyebabkan sel kanker berkembang semakin banyak. Benjolan (kanker) berdiameter 1 cm di dalam paru-paru kadang tidak terdeteksi hanya dengan foto toraks, sehingga membutuhkan pemeriksaan lebih jauh.
(Baca juga: Kanker Paru Intai Perokok Perempuan)
“Dalam benjolan 1 cm itu berisi >1 miliar sel kanker. Biasanya untuk bisa tumbuh seukuran itu membutuhkan waktu sampai 10 tahun. Sayangnya kerap tidak menimbulkan gejala apa-apa,” tutur dr. Elisa. “Kalau ia tubuh di daerah sentral paru, bisa menunjukkan gejala. Tapi jika dipinggir, tidak ada gejala.”
Di sinilah pentingnya melakukan deteksi dini pada kelompok berisiko tinggi, dengan melakukan foto rontgen dan pemeriksaan ke dokter paru setahun sekali. Mereka yang juga masuk dalam kelompok berisiko adalah perokok aktif/pasif, berusia >40 tahun, bekerja di lingkungan polusi tinggi (indoor/outdoor), ada riwayat kanker dalam keluarga. (jie)