Tipe tubuh Anda ternyata mempengaruhi risiko menderita kanker kolon di kemudian hari. Gaya hidup seperti diet (pola makan), aktivitas fisik dan konsumsi alkohol bisa meningkatkan risiko kanker ini.
Penelitian tahun 2024 menyebutkan mereka yang obesitas atau bertubuh tinggi dengan penumpukan lemak di area perut atau pinggang (obesitas sentral) berisiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal (kolon), terlepas riwayat kanker dalam keluarga mereka.
Data Globocan 2020 menyatakan kanker kolorektal (usus besar) merupakan kanker dengan angka kematian tertinggi ke-5 di Indonesia. Ia menempati urutan nomor 2 terbanyak untuk laki-laki dan nomor 3 pada wanita.
Penelitian di jurnal American Cancer Society menyatakan, kanker kolorektal dengan cepat beralih ke diagnosis pada usia yang lebih muda. Sejak pertengahan tahun 90-an, kasus di antara orang di bawah 50 tahun telah meningkat sekitar 50%.
Baca: Kanker Usus Besar Semakin Banyak Menyerang Usia Muda, Kenali Gejalanya
Penelitian lain menemukan bahwa di mana tubuh menyimpan lemak berkontribusi pada risiko kanker kolon. Studi tahun 2022 misalnya, menemukan bahwa orang obes atau bertubuh tinggi, dan orang dengan obesitas sentral memiliki risiko lebih tinggi pada kanker kolorektal, tetapi semua partisipan studi itu adalah keturunan Eropa.
Penelitian baru ini adalah yang pertama menemukan hubungannya di antara orang-orang dari berbagai ras: kaukasia, afrika dan asia. Peneliti menggunakan data dari lebih dari 329 ribu orang di Inggris.
Mereka menggunakan IMT (indeks massa tubuh), tinggi badan, berat badan, rasio pinggang-pinggul, serta lingkar pinggang dan pinggul untuk membagi partisipan menjadi empat kelompok berdasarkan fenotipe tubuh, atau karakteristik yang bisa diamati.
Keempat kelompok tersebut adalah: umumnya gemuk; bertubuh tinggi dengan lemak yang lebih terdistribusi; tinggi dengan obesitas sentral; serta lebih pendek dengan pinggul dan pinggang lebih kecil tetapi berat badan dan IMT tinggi.
Peneliti menemukan mereka yang tinggi dan obesitas sentral berisiko 12% lebih tinggi menderita kanker kolon, risikonya naik hingga 18% untuk wanita di kelompok ini. Mereka yang secara umum gemuk berisiko 10% lebih tinggi untuk kanker kolorektal.
Kelompok lain mengalami peningkatan risiko kanker yang tidak signifikan. Kenaikan risiko ini terlihat di semua ras, menunjukkan bahwa latar belakang seseorang tidak berperan.
“Kami secara konsisten mengamati perbedaan risiko untuk dua tipe tubuh: yang umumnya obesitas dan bertubuh tinggi dengan obesitas sentral,” kata Heinz Freisling, PhD, salah satu peneliti sekaligus ahli epidemiologi di International Agency for Research on Cancer, melansir Health.
Hubungan antara tinggi badan dan kanker
Hubungan antara tinggi badan dan risiko kanker sangat kuat menurut riset tahun 2019. Studi itu melibatkan sekitar 23 juta orang dewasa di Korea. Tinggi badan yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk setiap kanker, kecuali esofagus.
“Dipercaya mereka yang lebih tinggi juga memiliki usus besar yang lebih panjang, menyebabkan lebih banyak permukaan untuk berkembangnya tumor,” terang Anam Khan, MD, asisten profesor gastroenterologi, hepatologi dan nutrisi di University of Texas MD Anderson Cancer Center.
Hal ini dapat menyebabkan lebih banyak peluang pertumbuhan sel abnormal dan mutasi genetik. Ia menambahkan faktor lain, seperti ketidakseimbangan hormon, diet, dan gaya hidup berperan. Misalnya, orang yang lebih tinggi mungkin punya porsi makan lebih banyak, berarti berpotensi meningkatkan paparan terhadap karsinogen (dari makanan).
Mengurangi risiko yang sudah ada
Jika mengurangi bobot tubuh bisa diusahakan, tetapi ini tidak berlaku untuk tinggi badan. Kabar baiknya tetap ada cara untuk mengurangi risiko munculnya kanker kolorektal.
Ini termasuk mengurangi asupan alkohol, berhenti merokok, rutin berolahraga dan mengatur stres dengan tidur yang cukup.
Apa yang Anda makan juga berpengaruh, tukas Khan. Konsumsi lebih banyak biji-bijian utuh dan kacang-kacangan, sambil batasi asupan daging olahan dan daging merah.
Penting juga melakukan skrining – sebagai upaya deteksi dini – yang direkomendasikan mulai dilakukan mulai usia 45 tahun. (jie)