Setelah dinyatakan positif COVID-19, Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan menjalani perawatan eksperimental berupa obat / terapi antibodi.
Penggunaan terapi antibodi yang masih eksperimental tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang keparahan infeksi yang dialami Presiden Trump, walau kepala stafnya mengatakan bila Trump hanya mengalami gejala ringan.
Dilaporkan Presiden Trump (74 tahun) mendapatkan satu dosis ‘koktail’ antibodi buatan Regeneron. Sebagai informasi, terapi antibodi ini masih dalam tahap uji klinis dan belum mendapat persetujuan pemakaian dari otoritas kesehatan terkait.
Keputusan tim medis Presiden Trump untuk menggunakan terapi antibodi yang belum terbukti medapat kritikan beberapa ahli. Salah satunya diungkapkan oleh Dr. Jeremy Faust, dari Brigham dan Women’s Hospital, “Kita tidak seharusnya memberikan Presiden pengobatan tersebut sampai terbukti efektif,” ujarnya.
Hal yang senada diungkapkan oleh profesor di Universitas California San Francisco, Dr Vinay Prasad. “Ini adalah sains dan pengobatan yang buruk, serta menyalahi etika kedokteran untuk memberikan sesuatu (terapi) yang belum terbukti pada orang-orang kuat yang tidak Anda berikan untuk orang-orang biasa,” katanya dilansir dari AFP.
Hasil awal yang menjanjikan
Belum lama ini Regeneron mengumumkan hasil salah satu uji klinis tahap awal terapi antibodi yang dimasukkan secara intravena. Terapi ini terbukti mengurangi jumlah virus (virus load) dan waktu pemulihan pada pasien COVID-19 yang tidak dirawat di rumah sakit.
Perusahaan bioteknologi AS tersebut secara bersamaan menjalankan uji coba tahap akhir untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, dan menjajagi potensi penggunaan obat tersebut sebagai terapi pencegahan.
Antibodi merupakan protein yang akan memerangi infeksi, dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh yang berikatan dengan strutur tertentu di permukaan patogen – dalam hal ini virus SARS-CoV-2 – dan mencegahnya menginfeksi sel manusia.
Terapi antibodi sejatinya mirip dengan terapi plasma konvalesen, yakni dengan memanfaatkan antibodi yang sudah terbentuk dari pasien COVID-19 yang sudah pulih. Tetapi tidak memungkinkan membuat plasma konvalesen sebagai pengobatan massal.
Sabagai alternatif, peneliti menyisir antibodi yang diproduksi oleh pasien yang sembuh dan memilih yang paling efektif dari ribuan, kemudian membuatnya dalam skala besar.
Riset sebelumnya menunjukkan bila manfaat perlindungan terapi antibodi hanya bertahan satu hingga dua bulan ke depan setelah pengobatan. Sehingga lebih direkomendasikan sebagai pelindungan sementara pada populasi rentan, seperti lansia di panti jompo, petugas kesehatan, maupun orang dengan penyakit kronis.
Obat COVID-19 eksperimental milik Regeneron (disebut REGN-COV2) ini adalah ‘koktail’ kombinasi dua antibodi. Tujuannya adalah agar obat ini memiliki peluang lebih besar bila virus bermutasi untuk menghindari aksi pemblokiran satu antibodi.
Tahun lalu, Regeneron juga mengembangkan obat yang berisi kombinasi tiga antibodi. Terbukti efektif untuk virus Ebola. (jie)