Mantan presiden Senegal, Leopold Sedar Senghor, mengatakan: “hak asasi manusia dimulai dengan sarapan”. Namun di Indonesia, sebagian besar masyarakat belum menganggap sarapan sebagai kebutuhan mendasar.
Menurut berbagai kajian, 17-59% anak di Indonesia tidak sarapan. Penelitian di Jabodetabek, 30-40% anak dan remaja tidak sarapan. “Di desa, masalahnya mungkin karena faktor ekonomi. Di perkotaan atau keluarga mampu, masalahnya karena ketidaktahuan atau kebiasaan,” papar Prof. Dr. Ir. H. Hardinsyah, MS, Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB).
Yang juga mengkhawatirkan, berdasar analisis dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010 yang melibatkan 35.000 anak usia sekolah, 44,6% kualitas sarapannya rendah. “Seringnya hanya karbohidrat. Jarang ada pangan hewani, sayur apalagi buah,” terang Prof. Hardin. Bahkan 26,1% anak hanya minum air putih. Orang dewasa, 17% tidak sarapan dan 13% tidak sarapan setiap hari.
Sarapan dan performa belajar
Sarapan adalah waktu makan yang paling tidak boleh dilewatkan. Selama tidur, tubuh terus bekerja, termasuk mencerna makanan yang dikonsumsi sebelumnya. Otomatis begitu bangun tidur, energi dan kadar gula darah rendah. Padahal, kita membutuhkannya untuk beraktivitas dan berpikir. Sarapan seperti berbuka puasa, setelah kita puasa sepanjang malam. Itu sebabnya, sarapan disebut breakfast dalam bahasa Inggris (break the fast: berbuka puasa). Sarapan akan menaikkan kembali gula darah. Bila sarapan dilewatkan, tubuh akan membongkar cadangan energi yang tersimpan di otot.
Menurut dr. Soedjatmiko, Sp.A(K) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, agar anak bersemangat, fokus serta mampu mengingat, menghafal dan menjawab dengan baik, tubuh dan otak perlu asupan gizi di pagi hari. “Asupan dari makan malam sudah hampir habis terpakai, jadi harus sarapan,” tegasnya. Bila tidak sarapan, anak lesu, lemas, sulit menerima pelajaran, dan tidak kuat berolahraga.
Penelitian membuktikan hubungan antara rasa lapar dengan kesulitan belajar dan masalah perilaku, terutama berkelahi, mencuri, bermasalah dengan guru, tidak mengindahkan aturan, dan ikatan dengan orangtua. Menyadari pentingnya sarapan, banyak sekolah di Amerika Serikat (AS) menyediakan sarapan di sekolah.
Studi di sekolah negeri di Philadelphia dan Baltimore menunjukkan, masalah seperti absen dan terlambat serta masalah perilaku seperti hiperaktivitas, lebih umum terlihat pada anak yang kelaparan. Empat bulan setelah program sarapan gratis dimulai, jumlah siswa yang sarapan meningkat hampir dua kali lipat. Dilaporkan, mereka jauh lebih perhatian di kelas, nilai matematika membaik, sebaliknya masalah perilaku dan emosional menurun.
Penelitian ini mengikuti 113 siswa, sebelum dan setelah dimulainya program sarapan sekolah. Sebelum program, hanya 1/3 anak yang sarapan di sekolah. Setelah program dimulai, hampir 2/3 anak sering atau kadang-kadang sarapan di sekolah. Mereka yang meningkatkan partisipasinya pada sarapan di sekolah, mengalami perbaikan signifikan dalam nilai matematika. Sebaliknya keterlambatan, ketidakhadiran, depresi dan kecemasan menurun dibandingkan yang partisipasinya dalam sarapan di sekolah tidak meningkat.
Pada studi lain di Baltimore, angka sarapan di sekolah pada tiga sekolah meningkat empat kali lipat ketika sarapan gratis diletakkan di meja siswa setiap hari. Terjadi penurunan angka ketidakhadiran, keterlambatan, dan masalah kedisiplinan, dibandingkan tiga sekolah lain sebagai kontrol, yang angka partisipasi sarapan di sekolah tetap rendah.
Studi oleh Peterson, dkk (2004) menunjukkan, sarapan di sekolah memperbaiki nilai membaca, menulis dan matematika. Studi lain menyebutkan, tingkat disiplin membaik; skors (hukuman tidak boleh masuk sekolah) menurun pada 40 sekolah di Maryland, setelah diberlakukan sarapan gratis di sekolah. Dan studi oleh Murphy, dkk (1999) menyebutkan, anak-anak yang sarapan lebih jarang mengeluh lelah, sakit dan nyeri, serta lebih mungkin mengalami perbaikan dalam memperhatikan.
Tubuh langsing
Sarapan juga memberi manfaat bagi berat badan (BB). Banyak studi – pada anak dan dewasa – menunjukkan bahwa mereka yang sarapan cenderung lebih langsing, ketimbang yang tidak sarapan. Salah satu teorinya, sarapan dapat mencegah kelaparan di siang hari, yang akan berbuntut pada pilihan camilan / makan siang yang tidak sehat. “Saat makan siang jadi rakus. Pada orang kantoran yang jam makan siangnya pendek, makan malamnya jadi rakus. Kita cenderung makan lebih banyak saat lapar; rasa kenyang lambat datangnya karena respon ke saraf terlambat,” papar Prof. Hardin.
Teori lain, sarapan membentuk pola makan yang sehat. Ada kecenderungan, kebiasaan sarapan diikuti dengan pemilihan makanan yang lebih bijak dan latihan fisik untuk mengimbangi asupan kalori yang masuk. Secara umum, melewatkan sarapan akan mengganggu ritme sirkadian tubuh, mengenai puasa dan makan. Dalam jangka panjang, tentu berdampak bagi kesehatan.
Sebuah penelitian yang dipublikasi di The American Journey of Clinical Nutrition tahun 2010 sangat menarik. Studi ini memeriksa pola sarapan beberapa ribu orang Australia tahun 1985, saat mereka masih kecil, dan sekitar 20 tahun kemudian saat mereka dewasa. Para partisipan yang terbiasa melewatkan sarapan baik sebagai anak mau pun dewasa, memiliki BB yang lebih, lingkar pinggang lebih besar, kadar kolesterol ‘jahat’ LDL lebih tinggi, dan pola makan yang kurang sehat ketimbang mereka yang sarapan di masa anak-anak mau pun dewasa.
Sarapan juga membuat gula darah stabil; mencegahnya terlalu rendah atau terlalu tinggi. “Bila tidak sarapan, gula darah rendah di pagi hari. Siang hari akan kelaparan, makan banyak dan terjadi lonjakan gula darah,” ujar Prof. Hardin. Bila hal ini belangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun, risiko diabetes mellitus tipe 2 mengintai. (nid)
Baca juga: