Belakangan ini, nyamuk Wolbachia menjadi buah bibir, karena ditengarai mampu menekan penularan demam berdarah dengue (DBD). Inovasi nyamuk Wolbachia bahkan telah masuk Strategi Nasional (Stranas) untuk pengendalian DBD. Akan dilakukan pilot project di lima kota (Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang), berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No 1341 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue melalui Wolbachia sebagai inovasi penangulanganan DBD. Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng, Bali, kemudian ditambahkan ke dalam proyek ini.
Namun demikian, masih ada kekhawatiran pada sebagian masyarakat mengenai keamanan nyamuk Wolbachia. Contohnya saja di Bali. Pelepasan jentik nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia akhirnya ditunda, lantaran sejumlah masyarakat di sana belum siap menerima kebijakan tersebut.
Proyek nyamuk Wolbachia di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak hampir satu dekade lalu. Pada Januari 2014, dilakukan pelepasan nyamuk dewasa A. aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia di Sleman, Yogyakarta.
Adalah Prof. Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D atau akrab disapa Prof. Uut, yang mengepalai EDP EDP (Eliminate Dengue Project)-Yogya. OTC Digest berkesempatan mewawancara beliau pada akhir 2016, ketika penelitian sudah berjalan >2 tahun. “Pemantauan pasca pelepasan selama lebih dari 2 tahun hingga saat ini menunjukkan bahwa Ae. aegypti ber-Wolbachia bertahan dan berkembang dengan baik di lingkungan alaminya; established dan suistanable,” ujar Prof. Uut kala itu kepada OTC Digest.
Baca juga: Wolbachia, Upaya Memberantas DBD dengan Memelihara Nyamuk
Nyamuk Wolbachia tak hanya dilakukan di Indonesia, melainkan juga di banyak negara lain. Misalnya Singapura, Vietnam, Sri Lanka, Brasil, dan Meksiko. Hasil penelitian di Yogyakarta menunjukkan, nyamuk Wolbachia berhasil menurunkan 77% kasus DBD dan menurunkan risiko rawat inap di RS hingga 86%.
Hal ini diamini oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Emma Rahmi Aryani. Menurutnya, terjadi penurunan penyebaran dengue yang signifikan setelah pelepasan nyamuk Wolbachia. “Jumlah kasus di Kota Yogyakarta pada bulan Januari hingga Mei 2023 dibanding pola maksimum dan minimum di 7 tahun sebelumnya (2015 – 2022) berada di bawah garis minimum,” terang Emma, dilansir dari laman shatnegeriku.kemenkes.go.id.
Nyamuk Wolbachia Tidak Berbahaya - Bukan Rekayasa Genetik
Nyamuk Wolbachia bukanlah rekayasa genetik. Wolbachia adalah nama bakteri yang secara alami terdapat pada >70% serangga. Bakteri ini hidup dalam sel serangga, dan diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur. Uniknya, banyak nyamuk yang memiliki Wolbachia, tapi nyamuk A. aegypti biasanya tidak memiliki bakteri tersebut. karena itu, dilakukanlah upaya agar A. aegypti sebagai vektor virus dengue, memiliki Wolbachia di dalam tubuhnya.
Menurut Prof. Uut, bakteri Wolbachia bisa menghambat replikasi virus dengue dalam tubuh A. aegypti. “Virus dengue akan berkompetisi dengan bakteri Wolbachia dalam memperebutkan makanan di dalam sel nyamuk. Jumlah dan ukuran Wolbachia yang jauh lebih besar membuat virus dengue kalah berkompetisi, sehingga pertumbuhannya terhambat,” jelas Prof. Uut.
Baca juga: Penelitian Wolbachia di Sleman dan Bantul
Berdasarkan penelitian, jumlah virus dengue pada liur nyamuk Wolbachia sangat rendah, sedangkan untuk menularkan penyakit, jumlah/kopi virus dengue di tubuh nyamuk haruslah cukup. Dengan demikian bila nyamuk Wolbachia menggigit manusia, kecil kemungkinan ia bisa menularkan virus dengue. Perlu digarisbawahi, Wolbachia hanya hidup dalam tubuh nyamuk, tidak akan menular ke manusia atau membuat kita sakit. Jadi sudah jelas bahwa nyamuk Wolbachia tidak berbahaya.
Wolbachia tidak memengaruhi nyamuk secara fisik, ukuran, perilaku, serta kebugarannya (usia, jumlah telur, dan lain-lain). Efek domino penurunan kasus DBD dengan nyamuk Wolbachia terjadi setelah nyamuk-nyamuk tersebut kawin. Begitu nyamuk Wolbachia kawin dengan nyamuk A. aegypti biasa di lingkungan sekitar, terjadilah efek yang sangat menarik.
Seperti telah disebutkan, Wolbachia diturunkan secara maternal, yaitu dari serangga betina ke telurnya. Maka bila nyamuk Wolbachia betina kawin dengan nyamuk jantan tanpa Wolbachia, semua telur yang menetas akan menjadi nyamuk Wolbachia. Hasil yang sama juga terjadi bila kedua nyamuk memiliki Wolbachia. Ini akan terus berlanjut ke generasi-generasi nyamuk berikutnya, sehingga bisa kita harapkan efek domino yang berkelanjutan dalam menekan penularan virus dengue.
Nah, apa jadinya bila nyamuk Wolbachia jantan kawin dengan betina tanpa Wolbachia? “Hasilnya adalah pengurangan jumlah nyamuk lantaran telur-telur yang dihasilkan tidak akan menetas,” terang Prof. Uut.
Pilot Project di Semarang
Pilot Project nyamuk Wolbachia di Semarang dilakukan di dua kecamatan, yaitu Tembalang dan Banyumanik, Mei 2023. Peluncurannya dihadiri langsung oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Semarang, terjadi penurunan kasus DBD di kedua kecamatan tersebut sejak proyek Wolbachia dimulai.
Di kecamatan Banyumanik, terjadi 98 kasus DBD sepanjang Januari – September 2022. Di periode yang sama tahun ini, hanya ada 51 kasus. Hal serupa terjadi di Tembalang. Kasus DBD di kecamatan tersebut turun dari 83 kasus (periode 2022) menjadi 29 kasus saja.
Pilot Project Wolbachia terus dilanjutkan. Setelah Semarang, kini gliran kota Bontang yang mulai melakukan proyek tersebut. peluncurannya telah dilakukan awal September, dan turut dihadiri leh Prof. Uut.
Kita berharap Pilot Project Wolbachia memberikan hasil yang menggembirakan, dan bisa diimplementasikan ke daerah-daerah lain di Indonesia. Tidak perlu takut karena nyamuk Wolbachia tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. (nid)
__________________________________
Ilustrasi: Image by jcomp on Freepik