Melalui akun Twitter pribadinya, Bupati Sleman Sri Purnomo mengumumkan bila ia positif COVID-19 meski telah disuntik vaksin Sinovac. Kejadian ini tampaknya semakin “memberi angin” bagi mereka yang kontra pada vaksinasi, seakan menegaskan anggapan bila vaksin Sinovac – dengan efikasi 65% - tersebut tidak efektif.
Dalam video yang ia unggah, Bupati Sleman Sri Purnomo menyebutkan sempat batuk-batuk dan suhu sedikit naik (37,6 ℃) sebelum dinyatakan positif COVID-19. Saat ini ia menjalani isolasi mandiri di rumah karena tidak menunjukkan gejala apapun.
“Saya menyampaikan bahwa hari ini (Kamis, 21/1/2021) dinyatakan positif COVID-19, setelah saya menjalani dua rangkaian (tes), dengan rapid tes antigen hasilnya positif, dilanjutkan dengan PCR hasilnya juga positif. Terus foto rontgen dan CT scan toraks hasilnya bagus,” kata Sri Purnomo.
“Meski beberapa waktu lalu saya telah divaksin sebagai pencegahan penyebaran COVID-19, saya ingatkan vaksin bukanlah sebuah obat.”
Beberapa pakar mengatakan tetap mungkin terinfeksi COVID-19 setelah mendapat dosis pertama vaksin. Ketua ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) Prof. dr. Sri Rezeki S Hadinegoro, menjelaskan antibodi COVID-19 tak langsung terbentuk usai vaksinasi. Seseorang tak bisa serta merta menjadi kebal setelah divaksin.
"Tidak langsung tinggi antibodinya, kita perlu waktu untuk meningkatkan antibodi, paling tidak setelah dua kali suntik itu 14 hari sampai 1 bulan baru dia maksimal antibodi," katanya.
Di luar negeri, mengutip Times of India, dr. Randeep Guleria, Direktur the All India Institute of Medical Sciences (AIIMS) menjelaskan meskipun kemungkinan terinfeksi kembali COVID-19 kecil, vaksinasi akan melindungi penderita mengalami gejala yang berat bila infeksi baru terjadi setelah vaksinasi.
Dr. Guleria menambahkan diperlukan penelitian jangka panjang untuk menilai berapa lama imunitas (antibodi terhadap COVID-19) bertahan pada mereka yang telah divaksin. Tetapi walaupun terjadi infeksi, biasanya hanya gejala ringan.
Sementara itu Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mengatakan bahwa dibutuhkan waktu berminggu-minggu bagi tubuh seseorang untuk membangun kekebalan setelah divaksinasi.
"Itu berarti ada kemungkinan seseorang terinfeksi virus yang menyebabkan COVID-19 sebelum atau setelah vaksinasi dan jatuh sakit," tulis CDC di laman resminya.
Efikasi vaksin 65% sangat bermakna
Sebelumnya vaksin Sinovac diketahui memiliki efikasi 65,3% dalam uji klinis fase 3 di Bandung. Lantas apakah vaksin Sinovac ini kurang efektif, dibanding vaksin lain untuk mencegah infeksi COVID-19?
Efikasi dalam pengertian sederhana merupakan penurunan kejadian penyakit pada kelompok yang telah mendapat vaksinasi.
Dr. Dirga Sakti Rambe, sepesialis penyakit dalam yang juga vaksinolog menjelaskan, walau efikasi vaksin Sinovac hanya 65,3%, bukan berarti masih ada sekitar 35% masyarakat yang berisiko terinfeksi virus corona.
“Orang yang divaksinasi memiliki kemungkinan hampir 3 kali lebih rendah untuk mengalami COVID yang bergejala. Bahkan, gejala berat sampai menyebabkan kematian lebih rendah lagi kemungkinannya,” katanya dalam Pandemic Talks.
Tidak pula berarti efikasi yang lebih rendah, lebih buruk dibanding vaksin dengan efikasi lebih tinggi. Karena selama memenuhi standar minimal yang ditetapkan WHO (>50%), vaksin COVID-19 layak dipakai.
Walau dengan efikasi 65%, “Dampaknya akan luar biasa mengurangi beban pelayanan kesehatan di rumah sakit. Orang yang sakit COVID-19 bergejala sedang, bahkan sampai di rumah sakit, harapannya akan berkurang dengan vaksin ini,” pungkas dr. Dirga. (jie)
Baca juga : Efikasi Vaksin Sinovac di Indonesia 65%, Mengapa Lebih Rendah daripada Turki dan Brasil?