Belinda Rina Marie Spagnoletti, University of Melbourne; Ardhina Ramania, Universitas Gadjah Mada ; Hanum Atikasari, University of Melbourne, dan Linda Rae Bennett, University of Melbourne
Sebelum wabah COVID-19, setiap hari 50 perempuan di Indonesia meninggal akibat kanker serviks. Kanker reproduksi perempuan ini paling mematikan di negeri ini karena kerap kali terlambat dideteksi dan diobati.
Padahal, pertumbuhan sel-sel kanker di leher rahim ini dapat dicegah dengan vaksinasi Human Papillomavirus (HPV) dan dapat diobati jika terdiagnosis pada stadium awal.
Kini risiko kematian akibat kanker ini kemungkinan meningkat karena sejumlah layanan kesehatan untuk mendeteksi kanker serviks dihentikan dan dikurangi kapasitasnya guna menekan risiko penularan virus corona. Akses perempuan ke layanan kesehatan makin sulit dan dampaknya pendeteksian kanker makin lambat dan pengobatannya juga terhambat.
Riset kami, tim dari Pusat Kesehatan Reproduksi Universitas Gadjah Mada dan Nossal Institute for Global Health the University of Melbourne, menunjukkan meski terdapat upaya mempertahankan pelayanan pengobatan kanker serviks di Jakarta selama tujuh bulan terakhir sejak wabah COVID, jumlah pasien yang mencari pengobatan menurun karena kesulitan mengakses pengobatan, pembatasan perjalanan dan kekhawatiran tertular COVID-19.
Yayasan Kanker Indonesia dan sejumlah rumah sakit, misalnya, yang menjadi responden riset ini, terpaksa mengurangi kapasitas layanan pendeteksian kanker dan layanan vaksinasi HPV.
Layanan berkurang drastis
Riset ini merupakan bagian dari penelitian kerja sama empat tahun (2018-2022) tentang pengalaman perempuan yang terkena kanker serviks dan respons Indonesia terhadap pengendalian kanker serviks.
Selama pandemi, tim peneliti telah mewawancarai 23 responden secara daring dari sektor kesehatan dan organisasi komunitas di Jakarta.
Jauh sebelum serangan COVID-19, masalah utama upaya pencegahan kanker serviks di Indonesia, sama seperti kebanyakan negara di Asia (kecuali Malaysia dan Bhutan), adalah vaksinasi HPV belum menjadi program imunisasi nasional. Biaya vaksinasi HPV relatif mahal – sekitar Rp 1 juta per suntik. Masalah harga ini menjadikan vaksinasi tersebut sulit dijangkau oleh kebanyakan perempuan Indonesia.
Indonesia memiliki program nasional penapisan (screening) kanker serviks dengan target perempuan usia 30-50 tahun. Namun, pada 2014-2018, total target populasi yang melakukan penapisan masih kurang dari 8%, jauh dari target penapisan dari total perempuan usia 30-50 tahun sebesar 50%.
Wabah COVID menyebabkan keadaan bertambah buruk.
Setelah pemerintah pusat menyatakan COVID-19 sebagai bencana nasional pada pertengahan April, Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Jakarta menghentikan aktivitas klinik selama tiga bulan sejak pertengahan Maret. Ini berarti layanan vaksinasi HPV dan penapisan kanker serviks menjadi tidak tersedia.
Selain itu, lebih dari dua per tiga anggaran tahunan pemerintah provinsi untuk kegiatan YKI Jakarta dihilangkan. Akibatnya, staf YKI Jakarta yang berjumlah sekitar 30 orang harus dipangkas setengahnya dan kuota pap smear gratis tahunan dikurangi dari 4.000 menjadi 1.000 pemeriksaan saja.
Layanan kunjungan rumah (home care) untuk perawatan paliatif, perawatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang kankernya tidak bisa disembuhkan (stadium 4), juga ditangguhkan sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Setelah buka kembali pada Juni, jam operasional klinik YKI berkurang drastis, dari lima menjadi dua kali seminggu. Layanan penapisan massal juga dihentikan sampai waktu yang belum ditentukan.
Setelah tahun 2020, keberlanjutan yayasan kanker terbesar dan tertua di Indonesia ini masih belum jelas.
Temuan lainnya, pada Maret dan April terjadi penurunan kapasitas operasi histerektomi radikal (prosedur yang direkomendasikan untuk penderita kanker serviks stadium awal) di rumah sakit rujukan di Jakarta.
Saat kegiatan operasi dibuka kembali pada Juni, waktu tunggu operasi menjadi lebih lama karena penumpukan jadwal. Pada kanker serviks, penundaan pengobatan selama dua bulan dapat memperburuk kondisi penyakit dan menurunkan peluang bertahan hidup.
Memang tak melulu muram. Klinik vaksinasi HPV swasta yang memiliki beberapa cabang di Jakarta Pusat yang terlibat dalam penelitian kami dengan cepat berhasil membuat perubahan layanan dengan menerapkan pelayanan kesehatan dengan melakukan kunjungan ke rumah (home visit) dan mempertahankan jumlah pasien pada masa pandemi ini.
Namun, kebanyakan pelanggan klinik ini adalah kelas menengah-atas karena biaya layanan yang relatif tinggi.
Rumah singgah yang biasanya menawarkan akomodasi sederhana untuk pasien kanker dari luar Jakarta harus menolak pasien baru akibat aturan pembatasan sosial. Ini menghambat pengobatan pasien dari provinsi lain yang tidak mempunyai kerabat atau tidak mampu membiayai akomodasi selama di Jakarta.
Di level nasional, program percontohan untuk vaksinasi HPV berbasis sekolah yang telah aktif dicanangkan di lima provinsi juga berhenti karena kurangnya anggaran.
Akibatnya, ada sekitar 120.000 anak perempuan yang diperkirakan akan melewatkan dosis kedua vaksinasi HPV dan tidak terlindungi terhadap infeksi HPV. Jika vaksinasi HPV tidak segera menjadi prioritas anggaran, dampak penghentian program vaksinasi akan terasa sampai generasi mendatang.
Memanfaatkan teknologi, tapi tidak menjangkau perempuan miskin
YKI Jakarta telah mengalihkan layanan perawatan paliatifnya ke metode telemedicine. Penggunaan teknologi dalam memberikan pelayanan kesehatan sangat penting di Indonesia karena Indonesia diyakini memiliki angka kematian tenaga kesehatan tertinggi akibat COVID-19 di dunia.
Seperti yang terjadi secara global, kegiatan edukasi kesehatan telah beralih secara daring. Dalam beberapa bulan terakhir, banyak seminar daring berfokus pada pencegahan kanker serviks dan deteksi dini untuk umum. Mereka yang memiliki smartphone, tablet atau komputer dan koneksi internet dapat mengikuti kegiatan tersebut dengan mudah - sesuatu yang sebelumnya sulit dilakukan karena lokasi dan logistik.
Sayangnya, perempuan miskin yang paling rentan terhadap infeksi HPV dan kanker serviks kebanyakan tidak memiliki akses internet dan perangkat yang mendukung teknologi ini sehingga kecil kemungkinan bisa mengikuti kegiatan tersebut.
Pembatasan sosial membuat akses pengobatan kanker serviks menjadi lebih sulit pada awal pandemi. Pilihan moda transportasi terjangkau, seperti ojek online belum dapat diakses dengan mudah dan biaya taksi atau sewa mobil masih sulit dijangkau banyak perempuan.
Banyaknya rumah sakit di Indonesia yang tidak mempunyai fasilitas radioterapi mengharuskan pasien untuk dirujuk ke rumah sakit rujukan. Sistem ini sudah menjadi penghalang untuk mengakses pengobatan, dan semakin dipersulit oleh keharusan pasien melakukan tes COVID-19 sebelum bepergian.
Selain itu, karena kekebalan tubuh pasien kanker terganggu, pasien mungkin akan menghindari fasilitas kesehatan karena takut tertular COVID-19. Beberapa rumah sakit rujukan mengamati terjadinya penurunan jumlah pasien kanker yang datang untuk menjalani kemoterapi dan radioterapi.
Meski waktu berakhirnya pandemi tidak dapat diprediksi, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, juga kita, perlu mendorong dan mendukung pasien dengan kanker progresif untuk tetap mendapatkan terapi yang diperlukan.
Masa depan pencegahan kanker serviks belum jelas
Masa depan pencegahan kanker serviks melalui program penapisan di Indonesia masih belum jelas. Jika penapisan tidak menjadi prioritas, maka akan semakin sedikit perempuan yang terdiagnosis lebih awal, dan tingkat kelangsungan hidup akan menurun.
Langkah pemerintah mengalihkan anggaran dari satu sektor ke sektor lain, ketimbang meningkatkan dana yang dikhususkan untuk mengatasi jejak kesehatan COVID-19, kemungkinan bisa menjadi bencana bagi perempuan penderita kanker ginekologi.
Karena itu, kami mendorong pemangku kebijakan untuk fokus terhadap dampak kesehatan jangka panjang dan lebih luas dari COVID-19 sehingga dapat mengurangi jejak kesehatan akibat pandemi pada masyarakat Indonesia.
Dampak pandemi COVID-19 semestinya tidak hanya dilihat dari jumlah kematian akibat terjangkit virus, tapi dari total kematian yang terjadi menyusul respons pemerintah terhadap pandemi dan dampak sosial ekonomi pada kesehatan terhadap kanker.
Mengelola dampak pandemi terhadap penyakit kronis tidak menular seperti kanker sangat penting untuk mengurangi jejak kesehatan pandemi secara menyeluruh akibat COVID-19.
Henny Andrie Putri, dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta, dan Miranda Rachellina, dokter di Yayasan Kanker Indonesia Jakarta, berkontribusi dalam riset dan penulisan artikel ini.
Belinda Rina Marie Spagnoletti, Research Fellow in Sexual & Reproductive Health, Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne; Ardhina Ramania, Research Assistant, Center for Reproductive Health, Universitas Gadjah Mada ; Hanum Atikasari, Research Assistant at Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne, dan Linda Rae Bennett, Associate Professor of medical anthropologist, Nossal Institute for Global Health, Melbourne School for Population and Global Health, University of Melbourne
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
__________________________________________
Ilustrasi: People photo created by freepik - www.freepik.com