Di awal menikah, berhubungan seksual terasa menyenangkan, tapi sekarang tak lagi menggairahkan. Tak perlu malu bila mengalami hal ini. Anda tidak sendirian. Penelitian menemukan, 43% perempuan mengalami disfungsi seksual; keluhan di atas hanyalah salah satunya.
Dijelaskan oleh dr. Grace Valentine, Sp.OG dari RS Pondok Indah – Puri Indah, Jakarta, disfungsi seksual adalah masalah yang terjadi selama fase siklus respons seksual. “Ini menghambat seseorang mengalami kepuasan dalam kegiatan seksual,” ujarnya, saat dijumpai dalam bincang-bincang di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Siklus respons seksual terdiri dari empat fase: kegembiraan (excitement), dataran tinggi (plateau), orgasme, dan resolusi. Masalah bisa muncul pada salah satu fase. “Gangguan bisa terjadi dari awal memang tidak ada gairah, atau bisa pula saat sudah dirangsang, tapi tidak naik-naik,” tutur dr. Grace.
Secara umum, disfungsi seksual pada perempuan bisa dibagi 7, seperti di bawah ini:
- Kelainan hasrat seksual hipoaktif. Kurangnya ketertarikan dalam aktivitas seksual, yang berlangsung kronis (jangka panjang).
- Kelainan keengganan seksual. Penghindaran fobik kontak seksual dengan pasangan, yang terjadi berulang atau persisten.
- Kelainan gairah seksual. Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan sexual excitement, yang terjadi berulang atau persisten.
- Kelainan orgasmik. Kesulitan atau ketidakmampuan mencapai orgasme meski dengan gairah cukup, yang berlangsung kronis.
- Disparenia. Nyeri saat berhubungan seksual.
- Vaginismus. Otot dasar panggul kejang hingga vagina menutup dengan sendirinya, sehingga tidak bisa terjadi penetrasi.
- Nyeri saat berhubungan seksual tanpa penetrasi. Nyeri pada area kemaluan akibat stimulasi saat foreplay.
Banyak hal yang bisa menyebabkan timbulnya disfungsi seksual pada perempuan. Bisa berupa gangguan psikologis seperti cemas, stres, trauma akibat pengalaman seksual sebelumnya, kurangnya rasa percaya diri, hingga buruknya citra tubuh. “Bisa pula disebabkan oleh faktor fisiologis misalnya menua atau aging, perubahan hormonal, penyakit tertentu, dan obat-obatan,” terang dr. Grace.
Kondisi interpersonal juga berpengaruh. Misalnya kurang tertarik dengan pasangan, komunikasi yang buruk dengan pasangan, keinginan yang berbeda dengan pasangan, atau rutinitas kegitan seksual yang itu-itu saja hingga dirasa membosankan. Tak ketinggalan, faktor sosio-kultural. Budaya tabu maupun nilai-nilai religius tak jarang membuat perempuan merasa terkekang atau malu untuk mengekspresikan hasrat seksualnya.
Apa yang harus dilakukan bila mengalami gejala disfungsi seksual? Yang pasti, jangan malu untuk mencari pengobatan secara medis. “Sebagian besar kasus masih bisa diobati dan ditangani. Tapi karena malu, jadi tidak teratasi,” sesal dr. Grace. (nid)
___________________________________________