masalah yang menyertai penyandang epilepsi

Komorbiditas Penyandang Epilepsi Antara lain Problem Belajar dan Autisme

Komorbiditas (masalah yang menyertai) penyandang epilepsi bisa berupa perkembangan terlambat, gangguan kognitif, problem belajar dan ADHD (attention deficit and hyperactivity disorder), depresi dan kecemasan serta autisme. Perkembangan terlambat terjadi pada anak epilepsi dengan gangguan perkembangan otak, terlihat lewat pemeriksaan CT scan/MRI kepala. Manifestasi umumnya terlihat pada perkembangan motorik; anak terlambat duduk, berjalan atau bicara. Bisa terjadi, semula anak normal, lalu mengalami sindrom epilepsi yang berat sehingga perkembangannya terlambat. Berat ringan kelainan otak, jenis epilepsi dan obat yang diberikan, menjadi faktor penyulit yang dapat memengaruhi perjalanan penyakit.

Komorbiditas pada gangguan kognitif, bisa mencakup intelegensia, atensi, kemampuan belajar, memori, penilaian, perencanaan, ekspresi dan pengertian bahasa, yang dengan sendirinya memengaruhi perilaku dan ketrampilan sosial anak. “Anak dengan epilepsi intraktabel (sulit diobati), rerata IQ-nya 84,” dr. Handry menjelaskan. Bagian otak yang terkena juga berpengaruh. Pada epilepsi lobus frontal, yang terganggu adalah kemampuan untuk mengambil keputusan. Pada epilepsi lobus temporal, yang menonjol adalah terganggunya kemampuan mengingat.

Komorbiditas problem belajar, berbeda dengan disabilitas intelektual. IQ umumnya normal, tapi ada kemampuan belajar yang tidak sesuai dengan usia sehingga pencapaian akademisnya tidak sama dengan anak seusia. Misalnya ada problem membaca, matematika dan menulis. Berdasar penelitian pada 173 anak epilepsi usia 7-15 tahun, 13-32% mengalami problem membaca; 20-38% problem matematika; 35-56% problem menulis.

ADHD pada anak epilepsi mencapai 44%. Menurut Dr. dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ (K), mungkin mereka tidak termasuk hiperaktif, tapi lebih aktif, “Mereka berjalan-jalan di kelas, atau melongok ke sana kemari, dan apa yang ditugaskan tidak selesai.” Pelajaran yang diterangkan guru hanya ditangkap sebagian, karena anak tidak bisa fokus.

Anak epilepsi berisiko lebih tinggi mengalami problem psikiatri. “Penelitian di Divisi Neurologi Anak RSCM menunjukkan, 44% anak dengan epilepsi mengalami gangguan mental,” ujar Dr. dr. Tjhin. “Anak mengalami gangguan perilaku dan emosi, mencakup gangguan mood, cemas dan hiperaktivitas.”

Salah satu gangguan mood adalah depresi. “Anak dengan depresi cenderung merasa dirinya tidak mumpuni, apalagi di masa remaja, saat mencari jati diri,” tutur Dr. dr. Tjhin. Bisa diperberat bila keluarga tidak bisa menerima kondisi anak, atau sebaliknya overprotektif, sementara lingkungan memojokkan. Ini membuat penderita epilepsi terisolir, padahal mereka sangat ingin diterima oleh kelompoknya. “Kalau tidak diterima, anak bisa depresi,” imbuhnya.

Hubungan epilepsi - autisme bersifat vice versa. “Anak dengan autisme berisiko lebih tinggi menjadi epilepsi dibandingkan populasi umum. Sebaliknya, anak dengan epilepsi lebih berisiko autisme dibanding anak lain,” papar dr. Handry. Ini terkait dengan gangguan di otak yang hampir sama, sehingga saling berkaitan. Epilepsi pada anak dengan autisme mencapai 5-38,3%.

Penyebab komorbiditas pada epilepsi multifaktor, tergantung 3 hal: usia awitan (munculnya) epilepsi, frekuensi kejang dan lama menyandang epilepsi; jenis terapi; dan klasifikasi epilepsi. “Makin muda usia anak menyandang epilepsi, apalagi kena yang simtomatik dan frekuensi kejangnya sering, kemungkinannya terjadi komorbiditas besar,” tutur dr. Handry.

Anak yang mendapat terapi lebih dari 1 macam obat dan/atau mengonsumsi obat anti epilepsi (OAE) tertentu, juga berisiko lebih besar terhadap komorbiditas. Obat jenis fenobarbital dalam jangka waktu lama, bisa membuat anak hiperaktif atau mengalami gangguan belajar. (nid)