Anak Sumbing bisa Berbicara Normal, Ini Pentingnya Terapi Wicara

Anak Sumbing bisa Berbicara Normal, Ini Pentingnya Terapi Wicara

Anak dengan celah pada bibir dan/atau langit-langit menghadapi tantangan yang luar biasa dalam berkomunikasi. Ini bukan hanya soal suara yang sengau. Tahapan perkembangan bahasanya pun ada yang terlewati.

“Bayi yang lahir normal, selalu diajak bicara dan disayang-sayang oleh keluarga. Tapi kalau anak sumbing, boro-boro diajak ngomong. Biasanya orang tua selalu sedih, menangis, bahkan banyak anak yang disembunyikan karena orang tua merasa malu,” sesal Rita Rahmawati, S.Pd, SST.TW, M.P.H, terapis wicara di RS Harapan Kita, Jakarta. Akhirnya, perkembangan bahasa anak terlambat, karena tidak mendapat stimulasi yang optimal di awal kehidupannya.

Kesulitan komunikasi yang dihadapi oleh anak, berdampak pada gangguan perilaku. Anak jadi cengeng, sensitif, sikapnya tidak tenang, mudah marah, hingga tantrum. “Ia marah karena orang tua dan orang-orang di sekitarnya tidak mengerti apa yang dikatakannya,” jelas Rita, dalam diskusi mengenai perawatan komprehensif pada anak dengan celah bibir/langit-langit, yang diselenggarakan oleh SmileTrain di Jakarta, Kamis (30/1/2020).

Bibir dan/atau langit-langit yang terbelah bisa dioperasi. Namun, operasi tidak menjamin anak bisa berbicara dengan baik. “Setelah operasi, harus latihan dengan terapi wicara,” tegas Rita. Meski telah dilakukan operasi, organ dan otot-otot di area mulut harus distimulasi dan dilatih. Ini penting agar anak bisa mengembangkan ketrampilan artikulasi, meningkatkan perbendaharaan bahasa ekspresif, meningkatkan pengucapan huruf dan konsonan, serta meningkatkan perbendaharaan kata. Stimulasi juga penting untuk mencegah penyusutan otot pasca operasi.

 

Terapi wicara

Terapi bisa dilakukan minimal 2 minggu setelah operasi dilakukan, dan telah disetujui oleh dokter. “Lama terapi sangat variatif. Latihan yang diberikan pun berbeda-beda, tergantung kebutuhan anak,” tutur Rita.

Terapi antara lain dengan menstimulasi lidah. “Ada begitu banyak titik sensor di lidah. Lidah dan langit-langit mulut saling terkoordinasi untuk menciptakan artikulasi yang baik,” papar Rita. Menurutnya, hal ini kadang dilupakan oleh orang tua, “Padahal ini adalah cikal bakal anak bicara dengan tepat.”

Satu bulan setelah operasi, lidah sama sekali tidak merasakan apa-apa. Anak tidak bisa emmbedakan rasa gula yang manis, garam yang asin, hingga kopi yang pahit. Apa yang disodorkan ke mulutnya, ia telan. Dua minggu kemudian dilakukan tes yang sama. Anak masih mau menerima segala yang disodorkan, tapi mulai batuk-batuk setelah makan garam, “Tanda bahwa sensornya mulai bekerja.” Dua minggu berikutnya, tes dilakukan lagi. Kali ini, ia sudah menolak saat disodorkan garam dan kopi.

Program terapi wicara akan dibuat oleh terapis, disesuaikan dengan kebutuhan anak. Terapis juga akan membuat program latihan di rumah. Bila ini dijalankan, biasanya 3-4x terapi, hasilnya sudah bagus. “Tapi kalau hanya mengandalkan terapi di klinik, seminggu sekali selama 30 menit, tidak ada manfaatnya. Harus diulang di rumah. Meski cuma 10 menit setiap hari, progresnya akan cepat,” tandas Rita.

Stimulasi di rumah bisa jadi sangat sederhana. Misalnya anak dilatih untuk meniup peluit pesta yang ujungnya bergulung, atau sobekan-sobekan kapas. Ini membantu menguatkan otot-otot di area mulut.

Bila anak sudah dewasa dan bicaranya telanjur sengau karena tidak diterapi wicara setelah operasi, bisa dibantu dengan speech aid. Tetap dilakukan terapi wicara dan bila hasilnya baik, anak bisa dioperasi lagi agar suara dan artikulasinya benar-benar bagus.

“Anak dengan kelainan celah bibir atau langit-langit bisa berbicara normal 100%,” pungkas Rita. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Camera photo created by freepik - www.freepik.com