Fakta menunjukkan satu dari tiga anak Indonesia berisiko kekurangan zat besi (Fe). Kondisi ini bisa berujung pada kondisi anemia defisiensi besi (ADB). Tidak hanya menyebabkan lemah, letih, lesu, bila tidak tertangani berhubungan erat dengan penurunan kecerdasan si kecil dan risiko stunting.
Survei Hello Health Group (2023) menunjukkan bila 50% ibu tidak tahu bahwa defisiensi zat besi bisa berdampak pada kecerdasan anak. Survei juga menyatakan 33% ibu tidak mengerti makanan apa saja yang kaya zat besi.
Selain berperan pada pertumbuhan fisik (untuk penghantaran energi dan oksigen), Dr. dr. Dian Novita Chandra, M.Gizi, menjelaskan, di otak, zat besi berperan dalam proses mielinisasi selaput sel saraf.
Mielinisasi adalah proses pembentukan selaput/selubung saraf (mielin) yang berfungsi sebagai penghantar impuls.
“Sel saraf saling berhubungan, mielin adalah selaput sarafnya. Kalau tidak ada zat besi pertumbuhannya (mielin) tidak akan terlalu baik, tidak bisa mengantarkan informasi dengan cepat. Karena fungsi mielin adalah mempercepat informasi, sehigga saat sel diberi informasi, antarsel tersebut langsung berhubungan, nyampainya cepat dan reaksinya juga cepat. Jadi sangat penting untuk meningkatkan proses belajar anak,” terang dr. Dian, di Jakarta, Senin (17/3/2025).
Gangguan penyerapan zat besi
Kebutuhan zat besi anak dipenuhi konsumsi makanan hewani (disebut zat besi heme) dan nabati (zat besi nonheme).
Sumber zat besi heme antara lain daging merah, daging unggas, hati sapi/ayam, ikan kembung/tuna, kerang, udang, kuning telur dan susu yang difortifikasi zat besi.
Sebuah membandingkan perbedaan jenis susu terhadap kontribusi pada kecukupan zat besi dan zat gizi lainnya. Riset dilakukan pada 150 anak usia 1-3 tahun yang kekurangan zat besi (<80% AKG).
Simulasi dilakukan dengan menambahkan 1 porsi beberapa jenis susu (susu cair atau susu pertumbuhan yang difortifikasi Fe). Hasilnya, susu pertumbuhan lebih meningkatkan kecukupan zat besi, zinc, kalsium, vitamin B12, C, dan E, dibandingkan susu cair.
Sedangkan sumber zat besi non heme seperti, brokoli, bayam, kentang, kacang-kacangan, kismis, semangka atau sereal yang difortifikasi Fe.
Pencegahan ADB dilakukan dengan memberikan gizi seimbang. Zat besi heme lebih disarankan daripada non heme, karena lebih mudah untuk diserap tubuh.
“Zat besi heme 2-3 kali lebih baik penyerapannya, dibanding non heme, karena ia punya pelindung di dalam tubuh tidak rusak sampai ia diserap dengan baik,” dr. Dian menjelaskan.
Untuk zat besi non heme, penyerapannya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Vitamin C akan meningkatkan penyerapan zat besi non heme. Sementara tannin dan caffein (zat aktif dalam teh dan kopi), fitat (di biji-bijian, serealia seperti beras merah), serta polifenol (antioksidan di coklat) justru mengikat zat besi sehingga tidak bisa diserap.
Untuk meningkatkan penyerapan zat besi non heme, misalnya saat memasak kacang merah atau bayam, “tambahkan tomat (sumber vitamin C). masukkan tomat terakhir agar vitamin C-nya tidak rusak. Atau kalau tidak waktu masak, nanti minumnya jus yang banyak vitamin C (jeruk, jambu biji) atau makan buahnya langsung,” imbuh dr. Dian.
Demikian juga konsumsi teh, minuman coklat atau coklat batangan, supaya tidak mengganggu penyerapan zat besi, perlu dijeda sekitar 2 jam setelah makan sumber Fe.
Skrining sejak awal
Tubuh tidak mendadak kekurangan zat besi, membutuhkan proses. Pertama, kondisi normal, di mana cadangan zat besi dan kandungan besi dalam darah normal.
Kedua, deplesi cadangan zat besi. Ini terjadi saat cadangan zat besi mulai berkurang namun kandungan Fe di darah dan kadar hemoglobin tetap normal. Gejala belum muncul.
Ketiga, defisiensi besi, yakni saat cadangan habis dan kadar Fe di darah juga berkurang, hemoglobin tetap normal. Terakhir, anemia defisiensi besi, di mana semua parameter berkurang. Mulai muncul gejala anak sulit konsentrasi, lemah, letih, lesu dan nafsu makan berkurang.
“Kalau sudah masuk pada kondisi bergejala, berarti sudah bermasalah, sudah harus berobat, suplementasi zat besi. Kita sembuhkan kondisi anemianya, sambil diperbaiki kualitas makanannya,” dr. Dian menjelaskan.
“Skrining dan perbaikan kualitas diet dilakukan sejak periode deplesi. Diperbaiki dari makanannya,” imbuhnya. “Skrining bisa kapan saja, kita perbaiki kualitas dietnya, nanti minggu depan kita cek lagi dengan makanan seminggu kemarin. Masih kurang gak nih (asupan Fe-nya), kalau sudah OK, berarti menu ini sudah cocok, bisa diteruskan.”
Skrining juga bisa dilakukan melalui Kalkulator Zat Besi (secara online). Ini adalah alat bantu non-medis untuk deteksi dini faktor risiko kekurangan zat besi pertama di Indonesia dan hasilnya bisa diketahui hanya kurang dari 3 menit.
Kalkulator Zat Besi dapat digunakan secara mandiri dan dapat dijadikan sebagai alat pemantauan berkala sebelum pemeriksaan selanjutnya oleh pelayan kesehatan. (jie)
Baca juga: Alergi Susu Sapi Picu Anemia Defisiensi Besi, Apa Dampak Dan Bagaimana Mengatasinya?