Anak “Down Syndrome” Bisa Sekolah, Perhatikan 4 Hal Ini | OTC Digest
anak_down_syndrome_bisa_sekolah

Anak “Down Syndrome” Bisa Sekolah, Perhatikan 4 Hal Ini

Seperti anak lain, anak dengan Down syndrome atau sindrom Down (SD) pun layak mendapat pendidikan yang terbaik yang memungkinkan. Sebelum mereka bisa bersekolah, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan. Yang pasti, kondisi anak harus diperiksa dulu oleh tim dokter dan psikolog. Baru kemudian bisa ditentukan akan bersekolah di mana.

Fisik anak pun harus bisa mendukung proses pembelajarannya nanti. Seperti telah disebutkan, anak SD sering kali disertai berbagai gangguan kesehatan lain seperti gangguan pendengaran, penglihatan, dan sebagainya. (Baca juga: “Down Syndrome”, Tambahan Kromosom 21 dengan Beragam Masalah Kesehatan)

Empat poin ini harus diperhatikan oleh orangtua sebelum menyekolahkan anak dengan SD.

 

Mampu berkomunikasi

Ini persyaratan pertama yang harus dipenuhi. “Komunikasi itu bermacam-macam. Yakni mampu memahami apa yang disampaikan guru, lingkungan, dan teman-teman. Dan anak bisa mengekespresikan dirinya,” jelas drLuh

“Kemampuan anak dalam berkomunikasi akan menentukan bagaimana cara mengajarnya,” lanjut dr. Luh. Apakah ia bisa bersekolah di sekolah biasa, apakah butuh guru pendamping, ataukah sebaiknya di sekolah untuk anak berkebutuhan khusus.

 

Mampu mengontrol diri dan emosi

Seperti anak pada umumnya, anak dengan SD pun bisa merasa sedih, tidak selamanya mereka selalu bahagia. Hanya saja, cara mereka menyikapinya yang berbeda-beda. Perlu dipertimbangkan bila mereka masuk sekolah umum, tak bisa dipungkiri akan ada tekanan dari luar. Mungkin ada orangtua murid yang keberatan, atau teman-teman yang sulit menerimanya. Maka, penting bagi orangtua untuk emmastikan bahwa anak sudah memiliki kontrol diri yang baik.

 

Mampu menyimak (atensi yang baik)

Tiap anak memiliki derajat kemapuan atensi yang berbeda-beda. Atensi merupakan salah satu komponen dalam kemampuan intelektual, dan berkaitan dengan kemampuan belajar. “Untuk belajar dibutuhkan atensi, dan mampu menyimpannya dalam memori,” ucap dr. Luh. Ketiga, mampu memecahkan masalah.

Ketiga hal inilah yang berperan untuk menumbuhkan wawasan atau nalar. “Anak dengan penalaran yang bagus akan memiliki proses belajar yang baik,” imbuhnya. Pada akhirnya, ini berkenaan dengan fungsi kognitif. Tentunya kita tidak bisa menggunakan standar kognitif pada anak tanpa SD. Tapi paling tidak, ia memiliki atensi yang dibutuhkan untuk bisa menyimak pelajaran di sekolah.

 

Memiliki ketrampilan dasar

Tidak hanya kemampuan atensi, “Tangannya pun harus terampil.” Dalam hal ini yang berkaitan dengan pelajaran di sekolah. Misalnya melipat, menggunting, hingga menulis. Juga yang berhubungan dengan kemandirian dasar misalnya mengancingkan baju dan mengikat tali sepatu sendiri, makan sendiri, dan bisa ke toilet sendiri. (Baca juga: Anak “Down Syndrome” Suka Melempar Belum Tentu Hiperaktif)

 

Kembali lagi, kemampuan dasar anak tergantung pada ‘modal’ si anak. Dokter akan menilai bagaimana kemampuan intelektualnya. “Akan dinilai apakah si anak masuk kelompok mampu rawat, mampu latih, atau mampu didik,” papar dr. Luh. Bila disabilitas intelektualnya memang berat, ia masuk kelompok mampu rawat. Maka targetnya adalah mengajarkannya untuk bisa menolong diri sendiri (mandiri).

Pada anak yang mampu latih, bisa dilatih terus dengan rehabilitasi medik dan ebrbagai terapi lain ayng dibutuhkannya. “Distimulasi terus menerus sampai akhirnya naik ke mampu didik,” imbuhnya. Begitu masuk kelompok ini, dilihat lagi sejauh mana kemampuannya. Di luar negeri, anak penyandang SD yang bisa sampai melanjutkan ke universitas.

Baca juga: Terapi Tepat Jadikan Anak “Down Syndrome” Hebat

Dengan pengetahuan masyarakat yang makin baik, penerimaan masyarakat pun membaik terhadap anak SD maupun anak berkebutuhan khusus (ABK) lainnya. Kini makin mudah didapati sekolah inklusi, yakni sekolah regular yang menerima ABK. Sekolah inklusi menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak, baik anak ABK maupun anak tanpa kebutuhan khsusus.

Bila anak tidak memungkinkan masuk sekolah inklusi, maka pilihannya adalah sekolah kebutuhan khusus. Tentunya, sesuaikan dengan kondisi anak. Misalnya SLB (sekolah luar biasa) A bila anak SD juga memiliki gangguan penglihatan berat hingga buta. SLB B diperuntukkan bagi yang tunarungu; SLB C untuk anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata.

Semua penilaian terhadap kondisi, fisik dan kemampuan anak dibutuhkan untuk menentukan, dengan cara apa kita bisa mengajarinya. “Tidak ada yang sama untuk tiap anak, sangat individual,” pungkas dr. Luh. (nid)

________________________________

Foto diambil dari Instagram