“Down Syndrome”, Tambahan Kromosom 21 dengan Beragam Masalah Kesehatan | OTC Digest
down_syndrome_kromosom_21

“Down Syndrome”, Tambahan Kromosom 21 dengan Beragam Masalah Kesehatan

Manusia diciptakan dengan 23 pasang kromosom, termasuk kromosom jenis kelamin (XX pada perempuan dan XY pada laki-laki). Ini artinya, kromosom 1 hingga 23 terdiri atas dua kromosom yang berpasangan. “Namun, pada anak Down syndrome terjadi kelebihan pada kromosom 21,” terang Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), Ketua Umum IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) DKI Jakarta, dalam sebuah diskusi di RSCM Kiara, Jakarta. Alih-alih sepasang, penyandang Down syndrome atau sindrom Down (SD) memiliki tiga kromosom pada kromosom 21, sehingga membentuk trisomi (trisomi 21). Jadi total ada 47 kromosom pada penyandang SD, bukannya 46 (23 pasang).

Ternyata, kromosom ekstra tidaklah terlalu langka. Para ahli memperkirakan, sedikitnya 4% kehamilan memiliki kromosom ekstra. Namun, sebagian besar janin tidak bisa bertahan karena tambahan kromosom umumnya berakibat fatal. SD termasuk kondisi trisomi yang bisa bertahan hingga lahir.

Trisomi lain misalnya sindrom Klinefelter (anak lelaki dengan tambahan kromosom X), sindrom tripel X (anak perempuan dengan kromosom X ekstra), sindrom Edwards (trisomi 18), dan sindrom Patau (trisomi 13). Trisomi 13 adalah kelainan yang disandang oleh Adam Fabumi, yang sayangnya tidak tertolong dan meninggal dunia di usia 7 bulan.

Baca juga: Anak "Down Syndrome" Suka Melempar, Belum Tentu Hiperaktif

Lain trisomi 13, lain pula SD. Anak dengan SD mudah dikenali secara fisik, dan wajah mereka mirip satu sama lain. Karena merupakan sindrom (kumpulan gejala), maka banyak gangguan lain yang menyertai. “Beberapa anak sindrom Down bermasalah penglihatannya, pendengarannya. Ada juga yang punya penyakit jantung,” papar Prof. Rini. Ada yang rentan mengalami infeksi karena daya tahan tubuhnya rendah. “Mereka juga mengalami disabilitas intelektual atau tuna grahita,” tambahnya.

Hingga saat ini, belum ada cara untuk mencegah anak terlahir dengan SD, karena penyebabnya pun belum diketahui dengan pasti. “Dulu dianggap ibu yang hamil di atas usia 35 tahun lebih berisiko. Namun makin ke sini, banyak juga ibu yang hamil di bawah usia 35 melahirkan anak dengan SD,” tutur dr. Luh Wahyuni, Sp.RM(K). Sebaliknya, banyak juga perempuan usia >35 bahkan 40 melahirkan anak tanpa SD. “Kita tidak bisa memastikan kalau faktor A dicegah maka tak akan terjadi. Akhirnya memang dari Yang Kuasa,” imbuhnya.

Namun ia tetap menyarankan agar ibu sebaiknya melahirkan di usia ideal secara umum, yakni 20-35 tahun. Tidak hanya mengurangi faktor risiko SD, tapi juga berbagai risiko lain yang bisa muncul pada kehamilan >35 tahun.

Baca juga: Terapi Tepat Jadikan Anak "Down Syndrome" Hebat

SD bisa diketahui sejak dalam kandungan. Dengan alat canggih USG 4D, bisa terlihat jelas wajah janin. Untuk memastikan diagnosis, harus dengan pemeriksaan kromosom, yang sekarang bisa dilakukan dengan mengambil sedikit cairan amnion (ketuban). “Tapi itu perlu indikasi, dan tidak mudah juga. Karena bagaimanapun, tindakan itu memberikan risiko infeksi yang cukup besar,” ujar dr. Luh.  

Bagi orangtua pada umumnya, tentu sulit menerima kenyataan bahwa anak yang akan lahir nanti ternyata SD. Persiapan apa yang harus dilakukan orangtua? “Terutama mental. Kedua, harus mau belajar dan mencari tahu,” tegas dr. Luh.

Terimalah mereka apa adanya, dan cintai sepenuh hati. “Anak-anak sindrom Down itu biasanya anak yang bahagia. Mereka sangat polos, tidak punya pikiran negatif atau niat jahat,” ungkap dr. Luh. Seperti anak lain, mereka pun perlu mendapat perawatan dan pendidikan. Paling tidak, mereka dilatih agar bisa mandiri dan mengurus dirinya sendiri. (nid)

____________________________

Foto diambil dari Instagram @cookingproject47xy21