Labu parang atau labu kuning oleh masyarakat Amerika dibuat menjadi lentera dalam pesta Halloween, dikenal sebagai jack-o’-lantern. Jauh sebelum Colombus mendarat di Benua Amerika, penduduk asli benua itu sudah menanam labu.
Kata labu atau buah sejenis adalah askutasquash (sesuatu yang dimakan mentah). Walau begitu, mereka tidak mengonsumsi labu tanpa dimasak. Labu biasanya dipotong-potong dan dibakar sebagai bekal berburu. Biji ikut dibakar untuk camilan dan obat; kita menyebutnya sebagai kuaci.
Di Indonesia, labu parang biasa diolah menjadi kolak atau makanan pendamping ASI selepas ASI eksklusif. Labu parang (Cucurbita Moschata) masuk dalam keluarga tanaman berpigmen/warna kulit buah kuning-orange.
Menurut peneliti, labu kaya alfakaroten, betakaroten, lutein dan zeaxanthin yang bermanfaat bagi kesehatan. Juga mengandung vitamin A dan C, mineral, lemak serta karbohidrat, serat, air, protein, magnesium, fosfor dan zinc. Satu ons biji labu mengandung 1,1 g serat.
Penelitian oleh Loic Le Marchand dari University of Hawaii menilai makanan pilihan 322 pria/wanita penderita kanker paru-paru. Kemudian membandingkannya dengan makanan 865 kelompok yang bebas kanker. Secara keseluruhan, kelompok non kanker memakan lebih banyak alfakaroten, betakaroten dan lutein; ketiga zat tersebut terdapat dalam labu.
Alfakaroten meski tak seterkenal “saudaranya” betakaroten, sebenarnya memiliki manfaat yang lebih tinggi. Dalam rangkaian penelitian, Michiaki Murakoshi dari Kyoto Perfectural University of Medicine, Jepang, melapisi sel kanker dengan karoten.
Alfakaroten 10 kali lebih efektif mengurangi proliferasi (pengulangan siklus) sel kanker dibanding betakaroten, dalam melawan kanker kulit, hati dan paru-paru pada tikus. Diimplementasikan pada manusia, alfakaroten menurunkan jumlah penderita tumor paru-paru hingga 70%.
Risiko kematian penyakit kardiovaskular dan kanker
Penelitian yang menarik dilakukan oleh dr. Chaoyang Li, PhD., dari Center for Disease Control and Prevention, Atlanta, AS, mengenai hubungan antara alfakaroten dan risiko kematian pada 15.318 orang usia > 20 tahun. Sampel darah partisipan diambil antara tahun 1988 dan 1994, kemudian partisipan dimonitor sampai tahun 2006 dan dilihat bagaimana / apa penyebab kematian mereka.
Peneliti mendapati risiko kematian berkurang pada mereka dengan level alfakaroten dalam darah yang lebih tinggi. Dibandingkan individu dengan level alfakaroten antara 0-1 mikrogram/dL, risiko kematian responden yang konsentrasi alfakaroten 2-3 mikrogram/dL lebih rendah 23%.
Risiko juga lebih rendah 27% pada mereka dengan 4-5 mikrogram/dL, 34% pada level antara 6-8 mikrogram/dL. Terakhir lebih rendah sekitar 39% pada responden dengan 9 mikrogram/dL alfakaroten dalam darah.
Tingginya konsentrasi alfakaroten, tampaknya berhubungan dengan berkurangnya risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular atau kanker. (jie)