Seiring meningkatnya kesadaran orang tentang pentingnya menjaga lingkungan untuk mencegah dampak perubahan iklim yang semakin parah, makanan tidak hanya harus menyehatkan tubuh, tetap sekaligus ramah lingkungan. Juga sebisa mungkin kita perlu mengurangi sampah makanan.
Percaya atau tidak, setiap tahun Indonesia menghasilkan 13 juta ton sampah makanan atau food waste, setara dengan 500 kali berat Monas! Padahal, makanan sebanyak itu bisa dikonsumsi oleh 28 juta orang. Angka yang fantastis, yang membuat kita jadi berpikir ulang untuk membuang makanan.
Ada begitu banyak cara untuk meminimalkan sampah makanan. Brian Ardianto, alumni Masterchef Indonesia (MCI) musim ke 5 bercerita, di musimnya dulu peserta MCI mendapat tantangan food waste management. Siapa yang sampah makanannya paling sedikit, dia yang unggul.
“Dari satu produk saja, katakanlah udang, semua bagiannya bisa dimanfaatkan. Setelah diambil dagingnya, kulit dan kepalanya bisa disangrai, lalu dibuat kaldu. Semua bagian brokoli juga bisa dimanfaatkan. Bukan hanya bunganya, batangnya juga bisa dimasak. Batang kangkung dan batang bayam juga masih bisa dimasak, dan mengandung zat gizi,” kata Brian kepada OTC Digest, Selasa (27/9/2022).
Masakan sisa semalam juga bisa dikreasikan semaksimal mungkin agar tidak menjadi sampah makanan begitu saja. Aziz Amri, alumni MCI musim ke 7 mencontohkan, seandainya masih ada sisa lodeh, sayur itu bisa dikembangkan lagi menjadi hidangan baru.
“Misalnya, ditambahkan potongan kentang, lalu dihaluskan dan dijadikan lodeh cream soup. Atau, dijadikan saus pasta. Kuah sayur lodeh digodok lagi sampai airnya berkurang banyak, tambahkan tepung hingga kental,” saran Aziz.
Sementara itu Jaqualine Wijaya, CEO Food Sustainesia, menjelaskan salah satu cara meminimalkan food waste adalah dengan menerapkan konsep SHINE: Sustainable, Hygienic, Nutritious, Economically Feasible.
Sustainable berarti idealnya makanan tersebut dikemas dalam kemasan eco friendly (ramah lingkungan), sehingga tidak menyisakan sampah. Dampak karbon juga kecil, sehingga lebih baik pilih produk lokal dan berbasis tanaman.
“Kami juga mengajak orang mengonsumsi berbagai jenis makanan, karena menjaga keanekaragaman hayati juga penting demi menjaga kekayaan alam. Yang tidak kalah penting, pilih produk yang musiman untuk mengurangi limbah makanan akibat over-produced saat musim-musim bahan makanan tertentu,” kata Jaqualine.
Hygienic berarti memastikan makanan yang dikonsumsi tidak membahayakan kesehatan tubuh. Nutritiousberarti menyehatkan tubuh, memakai bahan yang sealami mungkin, dan mengandung nilai gizi yang diperlukan oleh tubuh.
Sedangkan Economically Feasible berarti harganya bisa diakses oleh banyak kalangan, termasuk bahan pangan organik yang selama ini masih terbilang mahal.
Berubah warna berarti busuk?
Hal lain yang menyumbang tingginya sampah makanan adalah ugly produce atau yang tak dilirik orang karena penampilannya tidak menarik.
Orang menganggap ugly produce itu sebagai bahan makanan busuk. Padahal, tidak demikian. Kandungan gizinya juga sama seperti produk yang bentuknya sempurna.
Menurut Ahli gizi Puteri Aisyaffa, perubahan warna pada brokoli sehingga agak kekuningan, misalnya, tak mengubah nilai gizi secara signifikan. Selama cirinya sama seperti brokoli pada umumnya, berarti dia masih layak makan.
“Banyak orang membuang pisang yang kulitnya sudah cokelat, karena dianggap busuk. Padahal, pisang sangat matang mengandung antioksidan sangat tinggi. Pisang hijau, kuning, atau cokelat punya zat gizi yang sama,” kata Puteri.
Contoh lain, saat Anda membuat jus apel dan tidak langsung diminum, ampas yang naik ke permukaan kerap dibuang. Padahal, di sana lah sumber nutrisinya. Jadi, lanjut Puteri, orang berpikir, ketika penampilan luarnya tidak bagus, berarti dia juga tidak bagus bagi tubuh.
Bahan pangan yang tidak menarik tetap bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai gizi. Memanfaatkan ugly produceini juga salah satu langkah mengurangi sampah makanan. (jie)
Baca juga: Tips Memasak Sehat Ala Masterchef dan Ahli Gizi