Virus corona varian Delta terbukti delapan kali kurang sensitif terhadap antibodi yang dihasilkan oleh vaksin COVID-19, dibandingkan dengan varian asli yang berasal dari Wuhan, China.
Itu merupakan kesimpulan dari studi yang melibatkan lebih dari 100 tenaga medis di tiga lokasi di India.
Peneliti menemukan bila varian Delta (B.1.617.2) tidak hanya mendominasi infeksi dengan viral load (jumlah virus) di saluran pernapasan yang lebih tinggi, dibanding varian non Delta, tetapi juga menghasilkan penularan yang lebih besar di antara petugas medis yang divaksin lengkap.
Namun perlu dicatat, bila riset kolaborasi para ilmuwan di India dan Cambrige Institute of Therapeutic Immunology and Infectious Disease ini belum ditinjau/dinilai oleh sesama ilmuwan lain.
Terlihat secara in vitro (di cawan petri), varian Delta rata-rata delapan kali kurang sensitif terhadap antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin COVID-19, dibandingkan varian Wuhan-1.
“Pada semua skenario yang dipertimbangkan, hasil kami menunjukkan bila varian Delta lebih menular dan lebih mampu menghindari sistem kekebalan yang dipicu oleh infeksi sebelumnya, dibandingkan varian-varian sebelumnya,” tulis peneliti, dilansir dari India Times.
Dr. Chand Wattal, ketua Institute of Clinical Microbiology and Immunology, Sir Ganga Ram Hospital, India, mengatakan, “Dari riset ini, tampaknya kita masih jauh dari aman dari pandemi COVID-19. Mutasi sudah pasti terjadi jika kita menurunkan kewaspadaan dan membiarkan diri kita dimangsa virus ini. Akan memberinya kesempatan untuk berkembang biak.”
“Ini menjadi pembuka mata bagi mereka yang sudah divaksin lengkap untuk tidak menurunkan kewaspadaan karena merasa aman sudah divaksin. Virus ini berkeliaran, masih mencari mangsanya.”
Mutasi virus telah kembali dengan kemampuan protein paku yang ditingkatkan untuk menempel di sel epitel paru-paru. Memberinya kemampuan lebih besar menginfeksi banyak orang, daripada varian Wuhan, imbuh Dr. Wattal.
Gabungan data epidemiologi dan in vitro ini menunjukkan bahwa dominasi varian Delta di India kemungkinan besar didorong oleh kombinasi kemampuan menghindari antibodi penawar (dari infeksi sebelumnya) dan peningkatan penularan yang menghasilkan lonjakan kasus gelombang kedua, kata studi tersebut.
Kasus infeksi berat pada petugas medis yang sudah divaksin lengkap jarang terjadi. Namun, adanya klaster penularan di rumah sakit yang terkait dengan varian Delta sangat mengkhawatirkan. Menunjukkan tindakan pengendalian infeksi pasca-vaksinasi perlu dilakukan, imbuh peneliti.
Berdasarkan data terbaru di India, varian Delta tampaknya juga lebih menular daripada varian Alfa (B.117) dari Inggris.
“Dengan tidak adanya data yang dipublikasikan tentang kemampuan transmisi varian Delta, kami memperkirakan bahwa varian ini akan mengungguli varian Wuhan-1 (D614G) pada individu dengan kekebalan yang sudah ada sebelumnya dari vaksin / infeksi alami. Atau dalam seting vaksinasi yang rendah,” riset tersebut menyimpulkan. (jie)