Sejak pertama kali muncul di Indonesia (Surabaya dan Jakarta) pada 1968, kasus DBD terus meningkat, meski berbagai upaya terus dilakukan untuk memerangi penyakit ini. “Indonesia merupakan negara kedua dengan kasus dengue terbanyak dan terparah setelah Brasil,” ujar Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia, dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Infeksi virus ini tidak selalu bergejala. Disebut dengue berat atau demam berdarah dengue (DBD) bila penyakitnya berat hingga terjadi syok dan perdarahan, yang bisa berujung pada kematian. “Angka kematian akibat DBD memang turun, tapi kasusnya masih saja banyak,” ucap Prof. Sri. Inilah yang sangat ditakutkan, terutama oleh para ibu yang memiliki anak kecil/remaja.
Kabar baik. Setelah penelitian selama +20 tahun, vaksin DBD akhirnya berhasil ditemukan. “Indonesia berkesempatan ikut dalam penelitian yang sudah masuk fase III, yakni mengukur efikasi (kemanjuran),” terang Prof. Sri.
Studi ini dilakukan di kawasan Asia Pasifik, bersama dengan Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Penelitian dilakukan secara serempak, dengan total >10.000 subjek usia 2-14 tahun, lalu dipantau selama 5 tahun. Di Indonesia, penelitian dilakukan di Jakarta, Bandung dan Denpasar, dengan >1.800 anak.
Secara bersamaan, juga dilakukan penelitian di kawasan Amerika Latin (Kolombia, Meksiko, Honduras, Puerto Rico, Brasil). Desain penelitiannya sama, hanya kelompok umurnya berbeda; dilakukan pada anak usia 9-16 tahun, dan total subjek >20.000 anak.
Kedua penelitian ini masih berjalan, dan akan selesai pada September 2017. Namun setelah berjalan dua tahun, hasilnya sudah bisa terlihat. Untuk Asia Pasifik, hasil studi dipublikasi di jurnal ilmiah The Lancet, sedangkan Amerika Latin diterbitkan di NEJM (New England Journal of Medicine). Hasil kedua studi ini kemudian disatukan dan dianalisis lagi.
“Hasilnya, konsistensi efikasi, baik di Asia maupun Amerika Latin,” terang Prof. Sri. Disimpulkan bahwa vaksin dapat mengurangi dengue yang bergejala sampai 65%, mengurangi perawatan sebesar 80,8%, dan mengurangi dengue berat hingga 92,9%.
Joko Murdianto, Kepala Divisi Vaksin Sanofi Indonesia, menambahkan, vaksin membuat alokasi dana kesehatan jadi lebih efisien. “Bila dengue berat bisa dicegah dengan vaksinasi, bisa dibayangkan berapa banyak jiwa yang bisa diselamatkan, uang yang dihemat dan tidak perlu mengalami sulitnya mencari RS saat dengue mewabah,” tuturnya.
Vaksin dengue sudah tersedia di 12 negara endemis. Di Indonesia, peredarannya telah disetujui oleh BPOM sejak bulan September, untuk anak usia 9-16 tahun. “Tidak ditujukan untuk anak yang lebih kecil karena hasilnya tidak konsisten,” terang Prof. Sri. Vaksin dengue diberikan sebanyak tiga kali, dengan interval 0-6-12 bulan.
Harganya? Sayang, Joko enggan menyebutkan. Namun beberapa sumber menyatakan, harganya sekitar Rp 1 juta untuk satu kali suntik. (nid)