Sebuah penelitian yang dipimpin oleh tim dari Kanada membuktikan apa yang ditakutkan sejak lama benar-benar terjadi: terapi plasma konvalesen lebih banyak bahayanya dibanding manfaatnya.
Studi CONCOR-1 yang diterbitkan di jurnal Nature Medicine menemukan terapi plasma konvalesen, salah satu terapi lama yang tenar setelah dipakai dalam penanganan COVID-19, tidak efektif mengurangi risiko intubasi (pemakaian ventilator) atau kematian.
Sebelumnya Philippe Bégin dari Department of Pediatrics, CHU Sainte-Justine, Montreal, Kanada, dan tim berpendapat kemanjuran terapi plasma konvalesen untuk COVID-19 belum jelas.
“Meskipun beberapa uji coba terkontrol acak (randomized controlled trial; salah satu metode penelitian) menunjukkan hasil negatif, tetapi uji klinis tidak terkontrol (uncontrolled studies) menunjukkan bahwa kandungan antibodi dari plasma konvalesen dapat mempengaruhi hasil pasien,” tulisnya di jurnal tersebut.
Peneliti melakukan uji coba terbuka, terkontrol acak (open-label, randomized controlled trial) pemberian plasma konvalesen pada pasien COVID-19 yang mendapatkan terapi oksigen dalam waktu 12 hari setelah muncul gejala gangguan napas.
Tujuan utama penelitian adalah untuk melihat manfaat plasma konvalesen pada kejadian intubasi atau kematian dalam 30 hari. Percobaan dihentikan pada 78% jadwal yang direncanakan karena telah memenuhi kriteria berhenti untuk menghindari kesia-siaan.
Dalam risetnya, terlihat 33,4% partisipan yang mendapatkan plasma konvalesen memiliki efek samping lebih serius, termasuk kebutuhan mendapat terapi oksigen dan gagal napas, dibanding mereka dengan terapi standar (26,4%).
Dari total 940 pasien yang diamati, intubasi atau kematian terjadi pada 32,4% pasien yang mendapatkan plasma konvalesen, lebih tinggi dari 28% partisipan tanpa plasma konvalesen (dengan terapi standar).
“Pembelajaran penting lainnya adalah bahwa tingkat antibodi di plasma konvalesen dan dari tubuh pasien mempengaruhi respons pengobatan. Plasma konvalesen memiliki tingkat antibodi yang rendah atau tidak berfungsi, dikaitkan dengan risiko intubasi atau kematian yang lebih besar,” tulis peneliti.
Para peneliti percaya, antibodi yang buruk dalam plasma bisa bersaing dengan antibodi pasien yang bisa menggagalkan respons imun.
“Telah diperkirakan bila plasma darah konvalesen dari penyintas COVID-19 akan membantu mereka yang sakit parah, tetapi sayangnya tidak,” kata Donald Arnold, profesor di McMaster University, Kanada dan salah satu peneliti utama riset tersebut, melansir Indiatimes.
Belajar dari India
Permintaan plasma konvalesen melonjak tinggi setelah hantaman gelombang pertama COVID-19 di India. Euphoria mereda ketika Dewan Penelitian Medis India (ICMR) mengungkapkan temuan (di tahun lalu) bahwa plasma konvalesen mungkin tidak terlalu efektif.
Tetapi permintaan plasma konvalesen tidak hilang, karena sektor swasta terus menggunakannya tanpa pandang bulu. Akhirnya, ICMR menghapusnya dari protokol perawatan COVID-19 di Mei 2021.
Riset di Maharashtra (salah satu negera bagian di India) pada 150 pasien kritis yang diberikan plasma konvalesen dihentikan pada Januari 2021 karena ditemukan merugikan. Peneliti di India menyimpulkan bila plasma konvalesen lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. (jie)