Malaria Tanpa Gejala Menghambat Penghapusan Malaria di Indonesia
malaria_nyamuk

Riset Malaria Tanpa Gejala: Infeksi Senyap yang Berpotensi Hambat Penghapusan Malaria di Indonesia pada 2030

Ayleen Alicia Kosasih, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU)

Sakit tanpa gejala tak hanya menimpa para penderita COVID-19 tapi juga pada orang yang terinfeksi penyakit malaria.

Baru-baru ini Kementerian Kesehatan merilis peta persebaran malaria tahun lalu yang mencapai sekitar 250.000 kasus. Mayoritas kasus ditemukan di Papua (86%), Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan jauh lebih tinggi yakni sekitar 1 juta kasus per tahun. Itu baru kasus-kasus bergejala.

Secara umum, penyakit malaria memiliki gejala hampir sama dengan gejala COVID yakni demam tinggi disertai menggigil, sakit kepala, dan nyeri otot. Penyakit ini juga dapat mematikan.

Secara umum diperkirakan terjadi kematian pada 0,3-0,45% kasus malaria. Namun sebuah riset memperkirakan 64-97% dari seluruh penderita malaria adalah kasus tak bergejala. Di Indonesia angka ini berada pada kisaran 80-90% dari seluruh penderita. Infeksi senyap ini berpotensi menjadi sumber penularan di lingkungan sekitarnya. Keadaan ini mengancam upaya penghapusan total malaria di Indonesia yang ditargetkan terwujud paling lambat pada 2030.

Malaria telah menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi di masyarakat, juga mempengaruhi kesehatanibu hamil dan bayi. Selain itu, penyakit ini juga dapat menurunkan produktivitas dan sumber daya masyarakat.

Hasil riset: tak bergejala bisa mempertahankan rantai penularan

Penderita malaria biasanya tidak berobat karena merasa tidak “sakit.” Selain itu, penyakit ini cenderung menetap dalam tubuh, rata-rata selama enam bulan.

Sampai 2019 masih ada 42% kabupaten dan kota yang belum bebas dari malaria. Penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang disebarkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina itu masih banyak kita jumpai di masyarakat.

Hasil tim riset pimpinan Inge Sutanto dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang melibatkan responden 1.492 individu di Nusa Tenggara Timur mengindikasikan kontribusi penderita malaria tak bergejala yang tidak diobati dalam mempertahankan rantai penularan.

Saya terlibat dalam riset ini dengan sekelompok peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, University of Notre Dame Amerika Serikat, Lembaga Eijkman, EOCRU, UNICEF Indonesia, dan Walter and Eliza Hall Institute Australia. Kami memeriksa para responden tersebut secara massal di empat desa untuk mencari dan mengobati penderita malaria yang ada di tengah masyarakat untuk mengurangi risiko penularan malaria.

Deteksi dilakukan dengan pemeriksaan sampel darah dengan alat mikroskop yang merupakan alat baku standar rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kami membagi responden ke dalam kelompok yang diperiksa sebanyak 875 individu dan kelompok yang tidak diperiksa sebanyak 617 individu sebagai kontrol. Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali selama tiga bulan. Dari 875 responden, kami menemukan sebanyak 149 responden terjangkit malaria tanpa gejala yang segera kami berikan obat kombinasi artemisinin sesuai pedoman nasional.

Namun, intervensi ini gagal mengurangi laju penularan, terlepas dari cakupan pemeriksaan yang tinggi, yaitu 87% dari total penduduk desa.

Dalam pengamatan selama enam bulan pada kelompok anak sekolah dasar yang berasal dari desa yang penduduknya telah kami obati dibandingkan dengan desa yang penduduknya tidak kami obati, responden yang menempati desa yang penduduknya sudah diobati terjangkit malaria sama banyaknya dengan mereka yang tinggal di desa yang penduduknya tidak diobati.

Mereka terinfeksi malaria sekitar 3 kali selama setahun.

Analisis lanjutan kami lakukan dengan pemeriksaan molekular (tes PCR) di laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2.016 sampel darah, dari 875 responden, yang telah kami kumpulkan dari 3 kali pemeriksaan massal. Berdasarkan PCR, kami menemukan infeksi malaria pada 540 sampel darah atau tiga kali lebih banyak daripada pemeriksaan mikroskopik.

Artinya ada 72% penderita malaria tanpa gejala yang tidak diobati dan berpotensi menularkan malaria. Sebuah riset di Afrika membuktikan bahwa meski seseorang tidak memiliki gejala, darah mereka tetap dapat menularkan malaria ke nyamuk anopheles, perantara malaria.

Memang, terlepas dari jumlah parasit yang sangat sedikit di dalam darah, infeksi ini masih dapat menular walau tingkat penularannya hanya kira-kira sepertiga dibandingkan penderita bergejala. Namun jumlahnya yang dominan di masyarakat dan kemampuannya menetap hingga berbulan-bulan menyebabkan infeksi ini menjadi sumber penularan yang penting di masyarakat.

Kekebalan tidak dapat mencegah serangan malaria

Diperkirakan jumlah parasit yang sangat sedikit menyulitkan pemeriksaan mikroskopis dalam mendeteksi penyakit ini.

Penelitian yang dilakukan di wilayah endemis lain seperti Thailand, Solomon, dan Ethiopia juga menemukan hasil serupa. Sebagian besar malaria tanpa gejala tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan darah menggunakan mikroskop.

Jumlah parasit yang sangat rendah merupakan fenomena yang lazim dijumpai pada malaria tanpa gejala.

Penelitian di Thailand melaporkan bahwa malaria tanpa gejala rata-rata mengandung sedikit sekali parasit, yaitu 5 parasit per mikroliter darah.

Angka ini jauh di bawah jumlah yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan mikroskopis, yaitu 100 parasit per mikroliter darah.

Rendahnya jumlah parasit pada malaria tak bergejala dipahami oleh para ilmuwan sebagai respons kekebalan tubuh. Di wilayah endemis tinggi, anak-anak yang terserang lebih sering menderita demam daripada orang dewasa. Seiring pertambahan usia, demam semakin jarang menyertai infeksi malaria.

Temuan ini mengisyaratkan keberadaan kekebalan tubuh yang timbul secara alami akibat infeksi malaria berulang kali. Kekebalan ini tidak dapat mencegah seseorang terjangkit malaria, tapi hanya mengendalikan jumlah parasit di dalam darah.

Selain itu, tingkat keragaman genetik parasit dan faktor genetik manusia juga dianggap berperan. Infeksi oleh jenis galur parasit yang belum dikenal sistem kekebalan tubuh akan memicu terjadinya gejala klinis.

Di daerah endemis tinggi, terdapat tingkat keragaman parasit yang tinggi sehingga tubuh mengenali berbagai tipe galur parasit. Tubuh tidak mengalami gejala walau mengandung jumlah parasit lebih banyak daripada mereka yang tinggal di wilayah endemis rendah.

Sebaliknya, di wilayah endemis rendah hanya sedikit jenis galur yang menginfeksi tubuh sehingga jumlah parasit pun lebih sedikit. Infeksi tanpa gejala disertai jumlah parasit yang rendah mendominasi penderita malaria di wilayah seperti ini.

Masalah kemudian timbul pada saat kita ingin menghapus penyakit malaria.

Lalu apa solusinya

Gencarnya upaya pemerintah dan lembaga internasional seperti WHO telah menurunkan kasus malaria secara signifikan dalam dua dekade terakhir. Namun di sisi lain semakin banyak wilayah yang mengalami pergeseran endemisitas, dari yang semula tinggi menjadi rendah.

Akibatnya akan semakin banyak infeksi tak bergejala yang sulit dideteksi dengan pemeriksaan standar.

Untuk memutus rantai penularan, diperlukan alat deteksi yang jauh lebih sensitif daripada pemeriksaan mikroskopis. Saat ini para peneliti tengah mengembangkanpemeriksaan cepat (rapid diagnostic test) ultra sensitif dan teknik PCR yang praktis sebagai alat diagnosis di lapangan. Kita bisa berharap alat-alat ini akan dapat segera dapat dimanfaatkan.

Selain itu, upaya mengurangi gigitan nyamuk sebagai intervensi tambahan juga perlu dipertimbangkan. Misalnya pemakaian kelambu berinsektisida, pemberian larvisida pada genangan air tempat nyamuk berkembang biak, atau penggunaan repelen.

Memang, menghapus penyakit malaria bukan perkara mudah. Banyaknya kasus malaria tak bergejala yang berpotensi menjadi sumber penularan merupakan tantangan tak kasat mata yang perlu dicari solusinya.

The Conversation

Ayleen Alicia Kosasih, Peneliti, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU)

__________________________________________

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.