Riset Ilmuwan Perempuan Indonesia untuk Inovasi di Bidang Kesehatan

Riset Ilmuwan Perempuan Indonesia untuk Inovasi di Bidang Kesehatan

Empat ilmuwan perempuan terpilih untuk mendapat National Fellowship 2021 dari L’Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS), atas rencana penelitian mereka dalam mengembangkan inovasi untuk menyelamatkan kehidupan di bumi. Mereka adalah Febty Febriani, Ph.D, Fransiska Krismatuti, Ph.D, Dr. Magdalena Lenny Situmorang, dan Peni Ahmadi, Ph.D. Dua di antara ilmuwan perempuan Indonesia tersebut melakukan riset yang bisa menjadi inovasi di bidang kesehatan.

Sains bisa berkontribusi besar menyelamatkan kehidupan di bumi. “Sains tak hanya berperan di masa sekarang, tapi juga menjawab tantangan masa depan, serta mendorong keberlanjutan bumi dan mahluk hidup bagi kita dan generasi berikutnya,” tutur President Director L’Oréal Indonesia Umesh Phadke, di acara penganugerahaan yang diadakan bertepatan dengan World Science Day for Peace and Development, Rabu (10/11/2021).

Berikut ini dua riset dari dua ilmuwan perempuan Indonesia, yang bisa menjadi inovasi di bidang kesehatan.

 

Deteksi Luka Kronis dengan Limbah Galvanisasi

Inilah hasil riset dari Fransiska Sri Herwahyu Krismatuti, Ph.D, peneliti di Pusat Riset Kimia – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Risetnya dilatarbelakangi fakta begitu banyak penderita diabetes mellitus di Indonesia. Salah satu komplikasi penyakit tersebut yaitu luka kaki, yang bila tidak dirawat dengan tepat, bisa menjadi luka kronis yang tak kunjung seebuh dan kerap berujung pada amputasi.

“Dari segi medis, pH adalah salah satu penanda yang bisa dijadikan indikator untuk status penyembuhan luka,” ujar Fransiska. Metode yang banyak digunakan saat ini untuk mengukur pH luka yaitu metode konvensional, di mana perban atau penutu luka perlu dibuka dulu untuk diperiksa kadar pH-nya. Hal ini sayangnya bisa meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi bakteri pada luka.

Di sisi lain, Fransiska mengamati banyaknya limbah dari proses galvanisasi (pelapisan baja) di Indonesia, yang belum dimanfaatkan secara optimal. “Padahal limbah ini mengandung banyak sekali zinc, yang berpotensi dijadikan bahan baku untuk membuat nano zinc oxide,” ujarnya.

Fransiska menjelaskan, zinc oxide memiliki sifat antibakteri, dan bisa dikompositkan dengan material lain. “Saya ingin mengembangkan platform deteksi optik berbasis nano zinc oxide yang diolah dari limbah galvanisasi, kemudian dikompositkan dengan antosiansin dari kol ungu, untuk digunakan sebagai prognosti untuk luka kronis,” paparnya.

Antosianin dari kol ungu sensitif terhadap perubahan pH; prinsip inilah yang digunakan utnuk memantau status penyembuhan luka. “Luka yang berproses untuk menjadi sembuh memiliki pH rendah, dan antosianin akan menunjukkan warna ungu. Sedangkan luka yang memburuk atau terjadi kontaminasi bakteri akan meningkatkan pH, dan membuat antosianin berwarna biru, dan ini bisa dilihat langsung tanpa bantuan alat apapun,” papar Fransiska.

Komposit yang mengandung nano zinc oxide dan antosianin akan dibuat dalam bentuk serbuk, yang bisa dibubuhi di perban berbasis hydrogel, sehingga tetap menjaga kelembapan luka. “Sifat antibakteri dari zinc oxide diharapkan bisa mencegah pertumbuhan bakteri pada luka. Di saat yang bersamaan, ketika material nano komposit menyentuh luka yang basah, akan terjadi interaksi yang menimbulkan perubahan warna pada antosianin,” jelas Fransiska. Perubahan warna tersebut bisa langsung terlihat karena hydrogel bersifat transparan.

Dengan cara ini, pasien/keluarga pasien bisa melakukannya secara mandiri di rumah, serta memantau status penyembuhan luka. “Dengan demikian mereka tahu kapan harus ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan intervensi medis untuk luka. Diharapkan cara ini bisa menghemat waktu, tenaga, dan mengurangi beban finansial bagi penderita luka kronis,” tandas Fransiska.

 

Terapi Kanker Payudara dari Biota Laut

Ini inovasi yang diajukan ilmuwan perempuan Indonesia Peni Ahmadi, Ph.D, peneliti di Pusat Riset Bioteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan garis pantai terpanjang setelah Kanada dan Norwegia. Kekayaan laut kita sungguh luar biasa. Di antaranya, sumber senyawa bioaktif untuk terapi kanker,” tuturnya.

Saat ini, memang sudah banyak modalitas terapi untuk kanker, tapi harus diakui efek sampingnya pun cukup berat. Peni bertekad menemukan senyawa alami dari biota laut Indonesia, yang bisa dimanfaatkan oleh farmasi untuk menghasilkan terapi kanker payudara yang unik, ampuh, dan minim efek samping.

Pada riset preliminer, Peni menguji 7 sampel spesies spons laut, untuk diambil ekstraknya lalu diuji sebagai antikanker. “Ketujuhnya berpotensi sebagai antikanker, bahkan dua di antaranya memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan kontrol positif dari obat kanker yang ada di pasaran,” jelasnya. Selanjutnya, perlu dilakukan isolasi senyawa yang memiliki efek sebagai antikanker.

Pengobatan yang berasal dari spons laut tersebut akan dirancang sebagai targeted therapy atau terapi target dalam bentuk injeksi intravena. “Kita hanya menyasar sel kanker, tanpa harus melukai sel-sel sehat, sehingga diharapkan lebih aman, efektif, dan spesifik,” ujar Peni.

Ia berharap, suatu hari nanti bisa diciptakan terapi kanker baru tanpa menimbulkan efek samping yang berbahaya. “Semoga bisa menyelamatkan perempuan dari kanker payudara,” pungkas Peni. (nid)