Pengobatan lupus seperti buah simalakama; dibutuhkan, tapi juga bisa menimbulkan gangguan baru. Steroid misalnya, dalam jangka panjang (>3 bulan) bisa menyebabkan osteoporosis, katarak hingga diabetes. Obat yang bersifat sitotoksik bisa meningkatkan risiko infeksi karena menurunkan daya tahan tubuh.
Lantas, bagaimana strategi pengobatannya? “Strateginya sekarang itu treat to target. Pengobatan ditetapkan oleh dokter dan pasien,” ucap dr. Yoga Iwanoff Kasjmir, Sp.PD-KR, ketua PESLI (Perhimpunan SLE Indonesia). Artinya, dokter tidak boleh melampaui keigninan pasien, bila ia merasa bahwa pengobatan yang dijalaninya sudah cukup.
Tujuan pengobatan mencakup tiga hal: remisi atau kesintasan (survival) sepanjang mungkin, mencegah kerusakan organ, dan memperbaiki kualitas hidup. “Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencapainya,” tegas dr. Yoga.
(Baca juga: ODAPUS Sering Disangka Malas, Padahal… )
Steroid sebagai terapi lini pertama, coba digunakan dengan dosis sekecil mungkin. “Kalau bisa malah bebas steroid. Karena itu selain steroid, digunakan obat-obat yang memiliki sparing effect. Biasanya kita kombinasi,” papar dr. Yoga.
Pasien pun perlu terlibat aktif. Ini memang gampang-gampang susah. Disebutkan oleh dr. Yoga, usaha non obat misalnya jangan kelelahan, tidur cukup, hindari paparan sinar matahari. “Hindari orang-orang yang kena infeksi, jangan malu pakai masker,” ujarnya. Juga penting melakukan latihan sederhana untuk menguatkan otot, memperbaiki lingkup gerak sendi, serta mengurangi nyeri sendi.
(Baca juga: Kosmetik untuk Penyandang Lupus)
Dari segi obat, menurut pengamatan dr. Yoga, pasien yang sering kambuh itu karena tidak patuh. Ia memberi contoh sederhana, misalnya kortikosteroid. “Kami harapkan pasien minum ini sepagi mungkin. Kalau hormon kortisol ditekan di pagi hari, masih akan cukup tinggi sehingga tidak masalah. Sedangkan bila ditekannya saat sudah sore, bisa bermasalah,” jelasnya. Ia menyayangkan, sering kali pasien mengatur sendiri jadwal minum obat, tanpa mempertimbangkan saran dokter.
Masalah lain yakni dosis. Dosis harus diturunkan secara bertahap, tidak boleh drastis. “Saya beri catatan ke pasien, dosis turun tanggal sekian. Namun pasien sudah merasa enak, dosis langsung diturunkan drastis. Mereka tidak sadar, hal ini membuat antibodi jadi yo-yo. Yang harusnya bisa ditekan jadi muncul lagi,” tuturnya. Begitu ada pemicu, penyakit pun kambuh. Berdasarkan hal-hal seperti ini, maka tidak heran bila penelitian menemukan bahwa hanya 1,7% pasien yang kondisinya tenang selama 5 tahun. (nid)
_____________________________
Ilustrasi: Pixabay