Pembiayaan Kanker JKN Butuh Inovasi, Cukai Rokok bisa Dioptimalkan
pembiayaan_kanker_JKN

Pembiayaan Kanker Butuh Inovasi, Cukai Rokok bisa Dioptimalkan

Kanker masih sering dianggap sebagai “vonis mati”. Ketika seseorang didiagnosis kanker, langsung terbayang hidupnya tidak lama lagi. “Padahal sekarang, tidak lagi demikian. Banyak kanker yang bila diobati awal dalam stadium dini dan dengan memadai, penyintas bisa memiliki harapan hidup yang panjang,” ungkap Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan inovasi dalam hal pembiayaan kanker oleh BPJS Kesehatan.

Kemajuan teknologi di bidang farmasi dan kedokteran telah memungkinkan beberapa kanker dideteksi di stadium dini, misalnya dengan pemeriksaan biomarker. Pengobatan kanker pun makin berkembang. Pilihannya kini tak sebatas operasi, radioterapi, dan kemoterapi saja. “Sudah banyak dihasilkan obat-obat terapi target, yang bisa diibaratkan sebagai tentara yang cerdas. ‘Senjata’ mereka ditargetkan pada satu titik tertentu,” imbuh Prof. Hasbullah, dalam diskusi media secara daring, Sabtu (5/3/2022).

Namun harus diakui, biaya pengobatan dengan terapi target mahal. Ini bisa dipahami karena untuk menemukan obat-obat tersebut, diperlukan riset yang lama dengan biaya yang tidak sedikit. Karena mahal, BPJS Kesehatan pun harus memilih, obat-obat apa saja yang bisa ditanggung. Pada umumnya, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) hanya menanggung obat terapi target untuk pasien kanker stadium lanjut.

Ketua CISC (Cancer Information and Support Group) yang juga penyintas kanker payudara, Aryanthi Baramuli Putri, mengapresiasi kehadiran BPJS Kesehatan, yang telah sangat membantu biaya pengobatan pasien kanker. Di sisi lain ia menilai, masih ada peluang besar untuk memperbaiki pembiayaan kanker JKN.

Ia mengungkapkan, kejadian di lapangan tidak selalu sesuai dengan ketentuan JKN. Ia mencontohkan pemberian terapi target trastuzumab untuk kanker payudara HER2+ yang sudah ada metastasis (penyebaran). “JKN menjamin pengobatan dengan trastuzumab sebanyak delapan kali, tapi dalam kenyataannya sangat sulit. Banyak pasien yang cuma dapat sebagian, atau bahkan tidak dapat sama sekali,” ujarnya.

Hal tersebut tentu akan merugikan pasien; kanker jadi berkembang makin lanjut lantaran pengobatan yang diterimanya tidak optimal. Pada akhirnya beban bagi BPJS Kesehatan pun makin berat karena kanker yang makin lanjut memerlukan biaya pengobatan yang makin besar. “Bila kanker ditangani lebih dini, biayanya akan lebih hemat,” imbuhnya.

 

Usulan untuk Pembiayaan Kanker

Sebuah studi oleh The Swedish Institute for Health Economics (IHE) pada 2001 menemukan, negara dengan alokasi pembiayaan kanker yang lebih tinggi menunjukkan keberhasilan penanganan kanker yang lebih baik dibandingkan negara yang memiliki alokasi pembiayaan kanker lebih rendah. Di Indonesia, total belanja kesehatan masih di bawah rekomendasi WHO yang menetapkan minimal 15% dari total APBN.

Diperlukan solusi yang strategis dan inovatif, demi mengatasi kendala keterbatasan pendanaan biaya kesehatan, dalam hal ini pembiayaan kanker JKN. “Harus smart mengelola sumber daya, baik untuk pembiayaan maupun hal lainnya agar bisa seefisien dan seefektif mungkin mengurai masalah. Perlu mengoptimalkan sumber dana yang ada, dan mencari sumber pembiayaan yang potensial,” tutur Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.B.A. M.Kes, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajement Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) UGM.

Ia mengemukakan soal pemanfaatan cukai rokok sebagai salah satu sumber dana potensial. Hal ini sudah dilakukan oleh negara-negara lain. “Dana yang dihasilkan dalam bentuk sin tax sebagian besar dikelola untuk mengatasi masalah kesehatan,” terangnya. Sin tax adalah pajak yang dikenai terhadap suatu produk yang bisa menimbulkan masalah bagi masyarakat, misalnya rokok dan alkohol.

Di Indonesia, pemerintah sudah mulai mengalokasikan sebagian dari pajak rokok dan cukai tembakau yang diterima Pemerintah Daerah untuk sektor kesehatan. Pada 2020, alokasi dana untuk sektor kesehatan dari pajak dan cukai rokok mencapai 50%. “Namun pada Desember 2020 terjadi dinamika hebat, sehingga menggeser proporsinya menjadi 25% pada 2021,” lanjut Dyah.

Dyah berharap, pemerintah pusat dapat merealokasi kembali dana untuk sektor kesehatan menjadi 50% atau memberikan fleksibiltas penggunaan dana pajak rokok dan cukai tembakau untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah.

Dyah juga menilai, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu menyusun teknis inovasi penggunaan pajak rokok dan cukai tembakau di sektor kesehatan. “Misalnya untuk optimalisasi pembelanjaan obat dan alat kesehatan termasuk obat kanker yang inovatif,” lanjutnya.

Hal ini diamini oleh Putih Sari, Anggota Komisi IX DPR. Ia menyebut, akan mengawal usulan mengenai pembiayaan kesehatan dari cukai rokok. “Ini adalah saatnya transformasi sistem kesehatan,” ujarnya.

Menurut Puti, salah satu inovasi pembiayaan yang dapat dijajaki dalam waktu dekat adalah dengan membuka ruang kolaborasi yang lebih luas dengan berbagai pihak, antara lain produsen obat dan asuransi swasta. “Misal dengan menyediakan beberapa skema harga dalam program JKN seperti yang sebelumnya pernah diterapkan untuk obat kanker melalui sistem risk sharing atau mekanisme inovatif lainnya,” tutur Puti.

Ia juga mendorong Kementrian Kesehatan dan pemerintah untuk menjadikan kanker sebagai salah satu prioritas nasional di bidang kesehatan. Pengobatan kanker telah berinovasi begitu canggih. Pembiayaan kanker JKN pun perlu inovasi, sehingga pasien kanker makin terbantu. Seperti harapan oleh Prof. Hasbullah, “Semoga pasien dan penyintas kanker bisa menikmati kehidupan dengan tenang, tidak perlu beban berat.” (nid)

__________________________________________

Ilustrasi: Background photo created by freepik - www.freepik.com