Vonis kanker adalah sesuatu yang menakutkan, tak hanya bagi si penderita tapi juga keluarga. Selama pengobatan berjalan, dukungan keluarga atau pendamping berperan penting agar pasien dapat melewati hari-harinya dengan berkualitas, dan tetap bahagia.
Selain sakit fisik, pasien kanker juga memiliki masalah emosional/psikologis seperti kehilangan percaya diri, merasa menjadi beban, tidak lagi punya semangat hidup atau merasa terisolasi. Kondisi tersebutlah yang kerap kali membuat pasien lebih menderita bahkan depresi.
Selain dokter atau perawat, keluarga bisa melakukan perawatan paliatif. Ini dimaksudkan untuk mengurangi penderitaan pasien, sehingga ia tetap memiliki kualitas hidup yang baik, terutama menghadapi penyakit yang mengancam jiwa.
Di dalamnya termasuk perawatan mengurangi gejala dan nyeri yang biasa dirasakan pasien kanker, memberikan dukungan spiritual dan psikologis.
Menurut dr. Siti Annisa Nuhonni, SpKFR(K), selaku penanggung jawab program paliatif Yayasan Kanker Indonesia terdapat siklus denial sampai penerimaan saat mendengar diagnosis kanker .
Keluarga atau orang-orang terdekat dituntut mampu memahami kondisi psikologis pasien dan memberikan reaksi yang tepat.
Fase shock dan denial (menyangkal)
Kaget terhadap diagnosis dan ada upaya penyangkalan adalah reaksi normal. Ini menimbulkan beragam reaksi seperti tidak menerima diagnosa karena merasa sudah menjalankan hidup sehal, menyalahkan diagnosa dokter, sampai menolak pengobatan.
“Di saat syok, pasien tidak bisa berpikir jernih, konsentrasi turun, emosi menumpul, hanya bisa memikirkan diagnosis kanker saja, sulit bersosialisasi dan kebingungan. Keluarga harus memahami fase ini, bersabar dan berikan pendampingan,” papar dr. Annisa.
Fase anger (marah)
Kemarahan karena diagnosis yang didapat kadang disalurkan ke orang-orang terdekat, perawat, bahkan dokter. “Jangan ‘diambil hati’. Bantu pasien mengenali pikiran negatif yang memicu kemarahannya, dan bantu mengoreksinya,” tambah dr. Annisa.
Fase bargaining (menawar-nawar)
Ini adalah proses ‘tawar-menawar’ dengan keadaan yang dialami, baik dengan Tuhan, caregiver atau dokter. Misalnya pasien berpendapat : semoga kalau saya banyak beramal, sakit saya bisa berkurang dan tidak semakin parah. Atau, dok, tolong saya dikasih obat yang paling bagus sampai sembuh.
“Tugas keluarga adalah mengingatkan pasien jika dokter atau perawat akan selalu memberikan usaha yang terbaik. Olah harapan si penderita supaya realistis dan sesuai dengan keadaan sekarang,” imbuhnya.
Jika harapan tersebut tidak realistis justru akan mengarah ke depresi. Sebaliknya, pasien menjadi menerima penyakitnya jika harapan tersebut realistik.
Fase depresi
Kesedihan yang mendalam, disertai rasa bersalah, tidak ada harapan dan kehilangan minat/semangat hidup berisiko memicu depresi.
Waspai tanda-tanda depresi berat dan ide bunuh diri. Ditunjukkan dengan kehilangan minat beraktivitas, tidak lagi merawat diri, merasa bersalah/tidak berguna, merasa tidak bisa ditolong lagi, tidak ada harapan masa depan dan ide mengakhiri hidup. Depresi harus ditangani dokter (psikolog/psikiater).
“Yang harus dihindari pada saat depresi adalah kita mengucapkan kalimat seperti: kanker tidak seberat itu kok, atau masih banyak yang lebih menderita, ya sudahlah terima saja keadaanmu, atau jangan dipikirin terus.
“Lebih baik bersikap diam dan mendengarkan keluh kesan pasien serta menghargai kesedihannya. Sikap lain dengan mengapresiasi kemajuannya, mengingatkan bahwa kecemasanya bukan sesuatu yang aneh atau gila, dan alihkan dari kecemasannya, ingatkan bahwa ia juga dibutuhkan orang lain,” terang dr. Annisa.
Fase penerimaan
Menerima keadaan bahwa ia sedang mengalami kanker dan mengambil tindakan-tindakan yang sesuai. Misalnya muncul sikap diri : Ya, saya memang terkena kanker, sekarang saya harus berobat dan berdoa semaksimal mungkin.
Keluarga diwajibkan terus mendukung pikiran-pikiran positif pasien. Tetap berikan kebebasan dan kesempatan bagi pasien. (jie)