Pakar kritisi penanganan pandemi di indonesia

Pakar Kritisi Penanganan Pandemi COVID-19 : Perlu Penguatan Puskesmas

Dalam webinar ‘Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi COVID-19’ yang diadakan oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU menekankan pentingnya pengawasan ketat Tracing, Testing dan Treatment (3T).

“Lakukan pelacakan kontak dengan benar. Menurut standar WHO satu orang yang kena, 30 orang yang diperiksa. Indonesia baru 5-6 orang yang diperiksa,” katanya, Jumat (6/11/2020).

Pemerintah juga harus menguatkan puskesmas sebagai fasilitas kesehatan primer masyarakat dalam penanganan COVID-19. Dari 647 puskesmas, imbuh Prof. Akmal ada kekurangan berbagai APD esensial. Kondisi ini menyulitkan kinerja penanganan pandemi di tengah masyarakat.

Survei Cisdi (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) yang dilakukan dari 14 Agustus – 7 September 2020 menyatakan kemampuan puskesmas sebagai ‘benteng’ pertama menghadang penularan COVID-19 menyedihkan.

Hanya 2 dari 5 puskesmas yang mampu melakukan tes usap PCR, selebihnya hanya tes cepat antibodi. Kalau pun mampu menggelar PCR, hasil ujinya amat lamban. Enam dari tujuh puskesmas baru mendapatkan hasil tes setelah 3 hari, bahkan ada 8% yang menerima hasil > 2 pekan.

Dengan hasil tes selambat itu, penanganan pasien bisa sangat terlambat. Atau, pasien berpeluang menularkan infeksinya kepada keluarga/orang terdekat.

“Kita mesti melakukan transformasi layanan primer kita. Jika kita tidak melakukannya dan melakukan perkuatan political will, susah kita kalau cuma terus-terusan cerita tentang rumah sakit,” ungkap Prof. Akmal.

Dalam kesempatan yang sama Ketua Policy Center ILUNI UI Jibriel Avessina menyebut kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum efektif.

Hal ini disebabkan, fakta di lapangan menunjukkan kasus penyebaran COVID-19 terus mengalami kenaikan. Dari anggaran penanganan COVID-19 sebesar Rp 696,2 triliun, pemerintah hanya menyisihkan Rp 87.55 triliun untuk biaya kesehatan.

“Sektor kesehatan terkesan menjadi pilihan kedua karena seolah-olah pemerintah lebih fokus pada penguatan ekonomi, misalnya komite yang dibentuk berisikan pejabat bidang ekonomi, serta berbagai stimulus ekonomi dengan anggaran yang jauh lebih besar dari biaya kesehatan itu sendiri,” kritiknya.

Update data per 8 November

Satgas Penanganan COVID-19 merilis data penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia hingga periode 8 November 2020. Sumber data yang digunakan dalam analisis ini berasal dari Kementerian Kesehatan.

Hingga periode 8 November 2020 jumlah kasus aktif sebanyak 54.804 (12,52%), ini lebih kecil dari angka aktif dunia 26,79%. Terjadi penurunan rerata kasus aktif dibanding dua bulan sebelumnya, yakni 23,74% dan 19,76% pada September dan Oktober.

Persentase kesembuhan pasien COVID-19 terus mengalami kenaikan yakni dari rerata 72,29% pada September, menjadi 76,65% di Oktober dan per 8 November 2020 sebanyak 84,14% (368.298 kasus); jumlah tersebut juga di atas data dunia 70,71%.

Sementara jumlah meninggal tercatat 14.614 kasus (3,34%); kali ini lebih buruk dari rerata dunia 2,50%. Namun dibandingkan dengan periode dua bulan sebelumnya berturut-turut ada penurunan kasus meninggal, yakni 3,98% pada September dan 3,59% untuk Oktober. 

Jumlah rata-rata orang yang diperiksa (PCR) per hari cenderung meningkat sejak 3 bulan terakhir. Pada Agustus sebanyak 13.886 orang, di September ada 23.217 orang, dan 28.637 pemeriksaan pada Oktober. Hingga periode 8 November sudah ada 24.909 pemeriksaan.  

Namun jumlah orang yang diperiksa PCR mingguan belum bisa memenuhi standar target WHO. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 267 juta jiwa, maka target WHO adalah dilakukan pemeriksaan kepada 267.000 orang per minggu.

Cacatan lainnya adalah positivity rate tetap tinggi di atas rekomendasi WHO (<5%). Jika dihitung sejak Juni hingga 8 November, posivity rate tingkat nasional berfluktuasi: 11,71% (Juni), 13,36% (Juli), 15,43% (Agustus), 16,11% (September), 13,86% (Oktober) dan 14,04% per 8 November.

Positivity rate menunjukkan rasio jumlah kasus konfirmasi positif COVID-19 berbanding dengan total tes di suatu wilayah. Semakin rendah positivity rate berarti jumlah orang yang dites semakin banyak, dan menunjukkan pelacakan kontak yang memadai. (jie)