vaksinasi covid-19 di indonesia berjalan lambat

Kenapa Vaksinasi COVID-19 di Indonesia Berjalan Lambat

Jalan masih panjang agar vaksinasi COVID-19 bisa dilakukan sesuai target pemerintah. Ketersediaan vaksin, distribusi rantai dingin, serta keterbatasan tenaga vaksinator menambah sengkarut vaksinasi. Vaksinasi COVID-19 pun tercatat berjalan lambat.

Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) mencatat sejak dimulainya vaksinasi 13 Januari lalu, sudah ada 1.269.905 orang yang mendapatkan vaksinasi tahap pertama, dan 789.966 vaksinasi kedua. Data ini di-publish pada tanggal 23 Februari 2021.

Pada hari itu ada penambahan vaksinasi tahap pertama pada 25.690 orang dan 25.061 untuk vaksin kedua. Jika dijumlah sebanyak 50.751 orang divaksin dalam satu hari. Sebelumnya pada 16 Februari ada 79.300 suntikan per hari itu.

Sayangnya jumlah tersebut jauh dari target yang ditetapkan pemerintah yakni 1 juta dosis per hari, untuk sekitar 181 juta penduduk (70% populasi) dalam waktu 15 bulan.

Para pengamat kebijakan publik, bahkan Menteri Kesehatan pun mengakui bila vaksinasi di Indonesia berjalan lambat. Saat itu Menkes Budi Gunadi Sadikin – dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR (Selasa 12/1/2021) – menjelaskan ada beberapa provinsi tidak bisa langsung menerima semua dosis vaksin karena terkendala kapasitas rantai dingin (cold chain) untuk penyimpanan vaksin yang belum memadai.

Kapasitas penyimpanan vaksi rutin di daerah biasanya untuk menampung kebutuhan antara 1-3 bulan.  Ini adalah bagian program vaksinasi wajib dengan sasaran vaksin anak-anak di bawah 2 tahun.

Untuk vaksinasi COVID-19, 70% penduduk akan divaksinasi dalam rentang waktu 15 bulan. Ini untuk pertama kalinya Indonesia memiliki program imunisasi terbesar dalam sejarah.  

Di awal Februari, Bloomberg menulis bila dengan penyuntikan vaksin sekitar 60 ribu dosis per hari, maka Indonesia akan membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk bisa memvaksin 70% populasi agar tercipta herd immunity (kekebalan kelompok).

Ermi Ndoen, peneliti kesehatan masyarakat dari Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Kupang, menjelaskan selain masalah kapasitas rantai dingin yang belum memadai, lambatnya vaksinasi disebabkan masalah distribusi.

“Pengiriman vaksin COVID-19 dari PT Bio Farma di Bandung ke seluruh pelosok tanah air untuk 181 juta orang memiliki rantai distribusi yang panjang. Sarana dan infrastruktur transportasi yang kurang memadai, kemungkinan besar mempengaruhi kecepatan waktu distribusi vaksin ke daerah-daerah,” katanya, melansir The Conversation.

Berkaca dari kampanye vaksin polio di Papua tahun 2019, imbuh Ermi yang terlibat dalam kampanye tersebut, pengiriman vaksin ke daerah pedalaman dan pegunungan harus menggunakan pesawat sewaan. Untuk mencapai masyarakat di daerah terpencil pun butuh waktu berjam-jam karena terpaksa berjalan kaki.

Tenaga vaksinator

Vaksinasi yang berjalan lambat juga dipengaruhi oleh jumlah tenaga vaksinator. Kementerian Kesehatan saat ini tercatat memiliki sekitar 31.000 tenaga vaksinator.

“Pengalaman pelaksanaan vaksinasi COVID-19 tahap pertama dengan sasaran 1,4 juta tenaga kesehatan butuh waktu lebih dari sebulan. Untuk mencapai target 118 juta penduduk tervaksinasi, pemerintah harus mulai memikirkan penyediaan tenaga vaksinator tambahan,” terang Ermi.

Pemerintah disarankan melibatkan melibatkan tenaga kesehatan swasta, mahasiswa kedokteran, perawatan atau bidan tingkat akhir, termasuk melibatkan tenaga kesehatan polisi dan tentara.

Gotong royong

Sebagai upaya mengatasi lambatnya proses vaksinasi, mencuat wacana vaksin gotong-royong (mandiri) yang diinisiasi dunia usaha.

Arya Sinulingga, Koordinator Komunikasi Publik PMO KPCPEN, menjelaskan ini merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan kepada karyawannya, sekaligus mempercepat herd immunity yang ingin dicapai pemerintah.

“Pengusaha memvaksinasi karyawannya, ini tidak mengganggu program vaksinasi pemerintah, tidak mengambil hak orang lain, justru mempercepat vaksinasi,” urai Arya dalam Dialog Produktif ‘Menyongsong Vaksin Gotong Royong’, Selasa (23/4/2021).

Tata Kelola vaksin gotong royong ini, menurut Arya, akan diatur secara ketat dan transparan. “Contohnya, vaksin yang digunakan tidak sama dengan program vaksinasi gratis pemerintah, kemudian tidak menggunakan fasilitas kesehatan pemerintah, dan pengusaha memberikan gratis pada pekerjanya,” ujarnya.

Namun ada tantangan besar di depan mata, yakni bagaimana mendapatkan vaksin. Saat ini seluruh dunia sedang berlomba-lomba mendapatkan ‘jatah’ vaksin dari produsen. Bloomberg melacak lebih dari 8,5 miliyar dosis vaksin – melalui lebih dari 100 perjanjian - telah dikontrak ke berbagai negara. Sebagian besar mengalir ke negara-negara kaya.

Petisi tolak vaksin madiri

Di satu sisi beredar petisi menolak vaksinasi mandiri di situs change.org. Alih-alih mempercepat terciptanya herd immunity, justru berpotensi terjadi ketidakadilan penerima vaksin.

Petisi yang digawangi oleh dr. Pandu Riono, PhD, epidemilog dari Universitas Indonesia, mengkhawatirkan bila vaksinasi yang dilakukan swasta ini hanya menguntungkan dan mengutamakan masyarakat ekonomi menengah ke atas di perkotaan saja.  

Dengan suplai vaksin yang masih sangat terbatas, masyarakat di daerah dan ekonomi menengah bawah, yang justru memiliki risiko penularan lebih tinggi, bisa tidak diprioritaskan.

“Jika memang hendak mengajak kerja sama pihak swasta, sebaiknya diajak untuk melakukan distribusi vaksin, bukan untuk melakukan vaksinasi mandiri.”

“Setiap rakyat Indonesia, baik yang bekerja atau tidak bekerja, berhak mendapatkan vaksin yang disediakan oleh pemerintah. Pihak swasta sebaiknya ikut membantu pemerintah agar semua rakyat mendapatkan haknya untuk divaksinasi sesuai prioritas yang sudah ditetapkan,” tulis petisi tersebut. (jie)