Beberapa hari terakhir ini, berita diisi dengan kenaikan kasus COVID-19 di beberapa negara, seperti Singapura dan Malaysia, termasuk Indonesia. Varian yang diduga menjadi penyebab kenaikan kasus ini adalah varian EG.5.
Otoritas kesehatan Singapura menyatakan pada 2 Desember lalu terjadi peningkatan kasus COVID-19 dua kali lipat menjadi 22.094 pada 19-25 November 2023, dibandingkan dengan 10.726 di minggu sebelumnya.
Melansir Channel News Asia, Ministry of Health (MOH) Singapura mengatakan peningkatan kasus ini disebabkan oleh musim liburan akhir tahun dan berkurangnya imunitas penduduk. EG.5 menjadi subvarian Omicron utama di Singapura, mencakup lebih dari 70% kasus.
Tetapi, “saat ini, tidak ada indikasi bahwa subvarian utama (EG.5) lebih menular atau menyebabkan penyakit yang lebih parah dibandingkan varian lain yang beredar,” terang MOH.
Untuk Malaysia, sebanyak 3.626 kasus COVID-19 dilaporkan dari tanggal 19 - 25 November, meningkat 57,3 persen dibandingkan dengan 2.305 kasus yang tercatat pada pekan sebelumnya.
Sementara di Indonesia, walau terjadi kenaikan kasus COVID-19, namun angkanya tidak signifikan. "Kita juga melihat ada kenaikan, cuma kan memang bagusnya, kita masih ada vaksinasi. Kalau itu divaksin, kita seharusnya bisa bagus," ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin, di Jakarta (4/12/2023).
Menkes belum bisa menjelaskan angka pasti kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia. Dari laporan di Kementerian Kesehatan, ia meyakini total kasus COVID-19 tidak lebih banyak dari yang tercatat dari Singapura dan Malaysia.
Vairan EG.5 lebih berbahaya?
Varian EG.5 – disebut juga varian Eris – memicu kenaikan kasus COVID-19 di beberapa negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam EG.5 Update Risk Evaluation tanggap 21 September 2023 menjabarkan bahwa subvarian Omicron EG.5 terdeteksi di 71 negara (data yang diterima GISAID).
“EG.5 adalah garis keturunan XBB.1.9.2, yang memiliki profil asam amino (protein paku) yang sama dengan XBB.1.5. EG.5 pertama kali dilaporkan pada 17 Februari 2023 dan ditetapkan sebagai varian dalam pemantauan (variant under monitoring / VUM) pada 19 Juli 2023,” tulis WHO.
Pada 9 Agustus 2023, WHO menerbitkan evaluasi risiko pertama terhadap EG.5 dan menetapkan EG.5 serta sub-garis keturunannya sebagai varian kepentingan (variant of interest / VOI).
Berdasarkan bukti yang terkumpul, WHO – sejauh ini - menyimpulkan risiko kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh EG.5 dinilai rendah di tingkat global, seperti halnya dengan risiko yang disebabkan subvarian XBB1.16 dan VOI lain yang beredar saat ini.
“Meskipun EG.5 telah menunjukkan peningkatan prevalensi, keunggulan penyebaran dan kemampuan lolos dari imunitas dibandingkan varian lain yang beredar saat ini, hingga saat ini belum ada perubahan yang dilaporkan dalam tingkat keparahan penyakit,” terang WHO.
Gejala ringan
Berdasarkan berbagai laporan di beberapa negara, para ahli meyakini bahwa sebagian gejala EG.5 yang ditimbulkan cenderung ringan.
Kristina K Bryant, MD, ahli penyakit menular di Norton Children’s Infectious Disease, mengatakan bahwa ia kebanyakan menemui pasien dengan gejala yang mirip dengan subvarian Omicron sebelumnya.
Gejala tersebut terutama melibatkan keluhan di saluran pernapasan atas seperti sakit tenggorokan, batuk, hidung tersumbat dan pilek. “Beberapa orang bahkan mengatakan mereka mengira memiliki alergi,” kata Dr. Bryant, melansir Health.
Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) gejala anosmia (hilang kemampuan mencium dan merasa) jarang ditemukan pada varian EG.5. (jie)