Pandemi ini sudah berjalan hampir satu tahun, tetapi masyarakat dibingungkan dengan munculnya delirium yang dianggap sebagai gejala ‘baru’ COVID-19. Delirium dilaporkan banyak dialami lansia.
Gejala delirium utamanya dialami oleh pasien usia lanjut. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di The Journal of the American Medical Association (JAMA) Maret 2020, dari 817 pasien COVID-19 lansia, 28% (226 orang) menunjukkan gejala delirium saat datang ke IGD.
Dari jumlah tersebut, delirum menjadi gejala utama pada 16% pasien, dan 37% pasien tidak menunjukkan gejala khas COVID seperti demam atau sesak napas.
Delirium diambil dari bahasa Latin yang berarti “keluar jalur”. Delirium biasanya menunjukkan tanda-tanda kebingunan, kurang fokus, disorientasi (sulit membedakan waktu atau tempat dengan baik), mengantuk atau (kebalikannya) terlalu waspada, muncul halusinasi baik auditorik atau visual, dan perubahan kognitif lainnya.
Dr. Desca Medika H, SpPD, dilansir dari akun Instagram @pandemictalks menjelaskan, delirium menyebabkan otak atau saraf tidak bisa menjalankan fungsinya secara baik. Biasanya delirium disebabkan oleh penyakit lain, dalam hal ini infeksi virus corona.
“Ada perubahan perilaku dari biasanya. Misalnya bila orang tersebut sehari-hari bekerja di bank, mendadak ia tidak bisa melakukan perhitungan simple (sederhana). Atau mengalami kesulitan berbicara,” kata dr. Desca. “Gejalanya bisa bermacam-macam, tergantung dari otak bagian mana yang mengalami gangguan. Yang biasanya otak bisa lakukan, karena ada penyakit tertentu maka mengalami gangguan fungsi.”
Ada beberapa yang mengalami perlambatan bicara, dari yang semula bisa bicara cepat. Pada beberapa jurnal disebutkan infeksi COVID-19 merusak sel-sel saraf melalui inflamasi. Sehingga yang seharusnya saraf cepat menyalurkan impuls / informasi, sekarang mengalami perlambatan.
Di luar COVID-19, delirium dikenal sebagai gejala umum yang muncul, khususnya pada lansia dengan penyakit infeksi parah sehingga dirawat di unit gawat darurat. Kondisi ini dikaitkan dengan hasil perawatan yang buruk, termasuk rawat inap berkepanjangan dan kematian.
Delirium bisa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, gejala putus obat, gangguan metabolism (misalnya gula naik, elektrolit turun) secara tiba-tiba, atau gangguan hormon tiroid.
Pada kasus COVID-19, penyebab pasti munculnya delirium belum jelas. Penelitian yang diterbitkan di jurnal General Hospital Psychiatry menyatakan adanya peradangan besar-besaran dengan badai sitokin, kerusakkan endotel (sel yang melindungi / melapisi pembuluh darah), peningkatan stres oksidatif, hipoksemia (otak kekurangan oksigen), dan mungkin infeksi langsung di sistem saraf pusat (virus menembus sawar darah otak) dapat memicu gangguan fungsi otak.
Dari berbagai penelitian, gejala delirium tidak selalu terjadi pada lansia, tetapi lebih pada lansia dengan kondisi fisik yang lebih lemah. Sedangkan pada lansia dengan kondisi fit, hanya sedikit yang mengalami gejala delirium.
“Sebetulnya ini bukan gejala baru COVID. Di awal COVID-19 muncul sudah dijelaskan adanya gejala delirium, mungkin sekarang karena saking banyaknya orang terkena COVID dengan gejala delirium maka naik daun,” imbuh dr. Desca.
Delirium bisa menjadi gejala awal infeksi SARS-CoV-2, tetapi “Pada beberapa pasien yang saya temui juga muncul setelah sembuh. Ia merasa depresi, mood turun mendadak tidak mau ngapa-ngapain, menjadi sulit tidur, gampang melamun,” kata dr. Desca.
Gejala penurunan fungsi otak ini perlu menjadi perhatian, karena kemungkinan COVID-19 menyebabkan berbagai komplikasi ke otak. (jie)