Gejala Trombosis bisa Dikenali, tapi Sering Tidak Disadari

Gejala Trombosis bisa Dikenali, tapi Sering Tidak Disadari

Gejala trombosis bisa dikenali, tapi sering luput dari perhatian. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di AS, CDC, mencatat ,sekitar 50% yang mengalami DVT (deep vein thrombosis atau trombosis pada vena dalam) tidak menyadarinya. Trombosis atau terjadinya penggumpalan darah bisa terjadi di arteri maupun di vena (pembuluh darah balik). 

Trombus (gumpalan darah) yang terjadi di arteri bisa membuat jaringan di sekitarnya mati karena tidak mendapat pasokan darah. Adapun DVT biasanya terjadi di sepanjang tungkai (paha atau betis), hingga tungkai menjadi bengkak. Bila trombus pada DVT lepas, ia bisa ikut ke aliran darah lalu tersangkut dan menciptakan sumbatan di pembuluh darah yang lebih kecil, misalnya di paru-paru. Ini disebut PE (pulmonary embolism).

Gejala trombosis

Gejala trombosis bisa berupa kemerahan karena pembuluh darah melebar, dan kulit terasa hangat. “Muncul nyeri kalau sudah ada pembengkakan jaringan lunak. Kalau sudah agak hebat, kulit menghitam,” papar dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD-KHOM, FINASIM dari RS Cipto Mangunkusumo.

PE ditandai dengan nyeri dada, bisa memburuk saat bernafas dalam, batuk atau batuk berdarah, pusing atau pingsan, nafas dan detak jantung cepat, detak jantung tak beraturan, nafas pendek. “Literatur menyebutkan, harus ada triad (tiga) gejala: sesak nafas, nyeri dada, dan batuk darah bila sudah ada kematian jaringan,” jelas dr. Chospiadi.

Ada tiga faktor utama yang dapat memicu thrombosis (triad Virchow). “Yakni aliran darah lambat, kelainan atau kerusakan pada pembuluh darah, dan darah cenderung mudah beku (hiperkoagulabilitas),” terang Prof. Dr. dr. Karmel Lidow Tambunan, Sp.PD, KHOM, Ketua Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia (PTHI). Darah yang mudah beku biasanya berkaitan dengan faktor genetik. Ada ketidakseimbangan antara faktor pembekuan darah (prokoagulan) dan antipembekuan darah (antikoagulan). “Satu antikoagulan yang kurang, risiko trombosis lebih besar,” imbuhnya. Ini sering disebut sindrom darah kental. Kondisi ini  membuat aliran darah lebih lambat sehingga lebih mudah terbentuk trombosis.

Faktor risiko trombosis vena antara lain: kurang aktivitas terutama berbaring >3 hari; perjalanan >4 jam; operasi atau luka besar; berat badan berlebih; hamil; usia lanjut; kondisi medis misalnya kanker. Operasi atau luka besar turut merusak pembuluh darah dan memperlambat aliran darah. Sedangkan, “Sel kanker mengaktivasi faktor-faktor prokoagulan. Darah kental terus, meski belum diketahui ada kanker,” terang dr. Chospiadi.

Nikotin dan tar pada rokok dapat merusak endotel (dinding) pembuluh darah. “Kalau sudah rusak, darah lebih mudah melengket,” kata Prof. Karmel.

Trombosis bisa trombosit (platelet), bisa koagulan. “Trombosit disebut juga sticky platelet syndrome, atau trombosit yang melengket/kental,” terang Prof. Karmel. Lebih sering terjadi di arteri, meski akhirnya juga terjadi koagulasi karena terpicu oleh darah yang melengket. Koagulan yang lebih banyak melibatkan sel darah merah, lebih sering terjadi di vena.(nid)


Ilustrasi: www.freepik.com-Designed by brgfx/Freepik