Gangguan kecemasan biasa terjadi di masyarakat perkotaan. Ritme hidup yang serba cepat, tekanan pekerjaan atau sosial, trauma masa lampau bisa menyebabkan gangguan kecemasan. Walau obat efektif mengatasi gangguan kecemasan, beberapa orang khawatir jika harus minum obat dalam waktu lama. Penderita gangguan kecemasan pada dasarnya bisa berhenti minum obat.
Gangguan kecemasan merupakan masalah kesehatan mental yang membuat seseorang khawatir dan takut berlebihan (intens) menghadapi situasi sehari-hari. Terkadang ketakutan tersebut menyebabkan serangan panik.
Para ahli kejiwaan menduga kondisi ini dipicu oleh sejumlah faktor seperit trauma masa lalu, adanya aktivitas berlebihan di bagian otak (amygdala) yang mengendalikan emosi dan tingkah laku, atau ketidakseimbangan hormon serotonin dan nonadrenalin.
Faktor keturunan juga berpengaruh. Mereka dengan riwayat keluarga menderita gangguan kecemasan berisiko 5X lebih besar mangalami kondisi sejenis. Wanita dan pengguna obat-obat terlarang juga lebih rentan mengidap gangguan ini.
Menurut dr. Andri, SpKJ dari Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera, Tangerang, gejala yang muncul bisa berbeda-beda pada tiap orang. “Tetapi ada dasarnya merupakan ketakutan yang luar biasa pada situasi/kondisi tertentu. Ini bisa memunculkan gejala-gejala fisik seperti sesak napas, asam lambung naik, berdebar-debar, meriang, atau ada depersonalisasi,” terangnya.
Pada mereka yang sudah cukup lama bisa mengalami tambahan gejala berupa depresi.
Remisi dan berhenti minum obat
Secara umum terdapat dua jenis terapi untuk gangguan kecemasan, yakni terapi non obat (terapi psikologis) seperti terapi perilaku kognitif, dan terapi obat yang bertujuan menyeimbangkan senyawa kimia dalam otak.
Berbeda dengan pengobatan penyakit lain, misalnya karena infeksi, pengobatan gangguan kecemasan memerlukan waktu beberapa bulan, bahkan untuk mereka yang kerap kambuh, hingga tahunan. Akibatnya banyak penderita yang khawatir dengan lamanya waktu pengobatan dan memutuskan untuk berhenti minum obat sendiri.
Dr. Andri menjelaskan lamanya pengobatan bisa ditentukan oleh si pasien sendiri; obat memegang peran 50%, dan 50% sisanya dipegang/dikuatkan oleh si penderita.
“Pada kasus pasien baru, atau belum pernah ditanganani doker lain sebelumnya, akan lebih mudah untuk menentukan pengobatannya akan seperti apa dan berapa lama. Respon pada 2 minggu – 1 bulan pertama pengobatan sangat penting. Beberapa pasien mengatakan gejala sudah berkurang 50-60%, atau bahkan hingga 80% yang dalam ilmu kedokteran disebut sebagai remisi,” terangnya.
Mencapai tahap remisi menentukan seseorang bisa berhenti pengobatan. “Setelah remisi sebaiknya obat tetap diteruskan hingga 3 bulan sejak pengobatan berlangsung pertama kali. Kemudian diturunkan dosisnya perlahan,” imbuhnya.
Akhirnya pasien bisa berhenti minum obat jika merasa kondisinya membaik, tapi disertai dengan terapi non obat. Ini penting, tukas dr. Andri, karena terapi non obat bertujuan agar amygdala menjadi tenang.
Amygdala merupakan pusat memori dalam otak yang menyimpan memori tentang segala sesuatu yang pernah terjadi dalam kehidupan seseorang. Akan tetapi, peristiwa yang memiliki makna akan lebih mudah diserap amygdala, daripada memori yang tidak bermakna, baik memori buruk maupun memori baik.
Terapi non obat yang dimaksud meliputi belajar bagaimana berpikir positif, belajar iklas dan menekankan bersyukur dalam keseharian. “Penting untuk malakukan terapi gangguan kecemasan tanpa obat, karena obat juga membutuhkan biaya. Dan kalau kita sudah bisa menerima apa adanya itu (emosi) akan tenang,” tutup dr. Andri. (jie)
Baca juga : Terapi Ini Bisa Bantu Atasi Gangguan Kecemasan