Imunoterapi dalam Panduan Pengobatan Kanker Paru | OTC Digest

Imunoterapi dalam Panduan Pengobatan Kanker Paru

Kanker paru masih merupakan kanker pembunuh utama di dunia maupun Indonesia. “Dari 10 orang yang kena kanker paru, delapan orang meninggal tahun itu juga,” ujar Dr. Elisna Syahruddin, Ph.D, Sp.P(K) dari Departemen Pulmonologi dan Respiratori FKUI/RSUP Persahabatan, Jakarta, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Ngobras, Jumat (24/11/2017).

Harapan hidup pasien kanker paru pun tidak kunjung naik. Median survival time atau rerata harapan hidup penderita kanker paru yakni 10 bulan. Selain harapan hidup, masih ada time to progression. Yakni masa “tenang” hingga suatu saat kanker muncul lagi. Bila ini terjadi, harus diobati dengan cara lain.

Angka harapan hidup pasien kanker paru masih rendah karena masih banyak yang belum kita ketahui tentang kanker. Banyak sekali proses yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan kanker. Idealnya, tiap sel dalam tubuh kita mengalami pertumbuhan dan pematian secara seimbang. Saat sel sudah tua atau rusak, secara otomatis ia mengalami proses pematian yang terprogram (apoptosis). Dengan kata lain sel itu melakukan bunuh diri. “Namun pada sel kanker, program pematian ini tidak berjalan sehingga ia tumbuh tak terkendali,” terang dr. Elisna.

Secara umum, ada dua jenis terapi kanker: local (operasi dan radioterapi), dan sistemik (bekerja di seluruh tubuh). Terapi local hanya mengangkat/memusnahkan kanker di daerah tersebut. Bisa digunakan bila ukuran kanker masih kecil dan belum menyebar. Bila kanker sudah bermetastasis (menyebar), maka pilihannya adalah terapi sistemik, sehingga semua sel kanker yang terswbar ke seluruh tubuh bisa dikejar.

Dulu, terapi sistemik hanya berupa kemoterapi. “Sifatnya umum. Bisa digunakan untuk semua jenis kanker, karena ia mengejar sel-sel yang pertumbuhannya cepat tanpa spesifik,” ujar dr. Elisna. Kini dikenal terapi target dan imunoterapi, yang bekerja secara spesifik pada sel kanker. “Karenanya, sebelum obat diberikan, perlu diperiksa dulu apakah kanker yang dimiliki seorang pasien memiliki reseptor/protein/mutase genetik tertentu sesuai obat yang sudah tersedia,” imbuhnya.

Pada pengobatan kanker paru, khususnya kanker paru jenis bukan sel kecil (KPKBSK), telah ditemukan imunoterapi dengan obat anti PD-1. Sel T limfosit sebagai bagain dari pertahan tubuh ktia, memiliki reseptor PD-1 (programmed cell death-1), yang akan menginduksi sel kanker melakukan bunuh diri. Namun sel kanker tertentu mengembangkan mekanisme pertahan berupa PD-L1. Saat PD-1 milik sel T menempel di permukaan sel kanker, terjadilah ikatan dengan PD-L1 sel kanker. Ikatan ini membuat PD-1 menjadi tidak aktif, sehingga tidak bisa memicu apoptosis sel kanker.

Ikatan inilah yang diblok/dipotong oleh imunoterapi anti PD-1. Dengan demikian, sel T kembali aktif dan bekerja dan sel kanker pun bisa diprogram untuk melakukan bunuh diri.  Pengobatan dengan imunoterapi sudah masuk dalam panduan PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia) untuk pengobatan kanker paru. Anti PD-L1 diberikan secara infus, tiap 3 minggu. Penelitiannya, bisa dipakai hingga satu tahun.

Manfaat obat kanker dinilai dari beberapa hal. Tidak hanya efektif menghambat pertumbuhan kanker, tapi juga bila memberikan masa progres yang panjang, dan memperbaiki kualitas hidup pasien. “Percuma bila obat menunjukkan hasil yang baik, tapi kualitas hidup pasien sangat buruk,” ucap dr. Elisna.

Anti PD-1 merupakan pilihan modalitas baru untuk kanker paru KPKBSK. “Makin banyak modalitas pengobatan yang kita gunakan, akan makin besar harapan hidupnya,” pungkas dr. Elisna. (nid)