Deteksi Kanker Paru dengan Form Naru dan Low-Dose CT Scan
kanker_paru

Deteksi Kanker Paru dengan Form Naru dan Low-Dose CT Scan

Kanker paru menempati peringkat kedua dari kasus kanker di Indonesia, dengan jumlah kematian yang tertinggi di dunia. Data dari Global Cancer Statistic tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 2,2 juta penderita kanker paru, sebanyak 1,8 juta di antaranya meninggal dunia.

“Sebagian besar pasien kanker paru (94%) baru ditemukan pada stadium lanjut. Pada stadium ini, ketahanan hidup pasien rendah sekali,” ungkap Dr. dr. Arif R. Hanafi, Sp.P(K). hal ini disampaikannya dalam salah satu sesi simposium di Siloam Oncology Summit, Jakarta (18/5/2025). Padahal, kanker paru yang dideteksi secara dini bisa memperpanjang usia pasien hingga 5 tahun ke depan.

Ia melanjutkan, strategi pengobatan kanker paru kini bergeser menjadi preventif (pencegahan) dan skrining. Hal ini untuk memperbesar peluang keberhasilan pengobatan, sehingga ketahanan hidup sampai 5 tahun bisa tercapai.

Skrining untuk deteksi dini kanker paru perlu dilakukan untuk orang-orang yang memiliki high risk atau risiko kanker paru. Risiko ini ada tiga level: ringan, sedang, dan berat. Kita bisa menilai sendiri risiko kanker paru melalui program skrining mandiri kanker paru atau Naru.

Check list itu meliputi risiko ringan, sedang, berat, yang dikeluarkan dari Kementerian Kesehatan dari skrining mandiri form Naru ‘Kenali Paru’. Dari 11.785 orang yang telah mengisi form tersebut, sebanyak 76% di antaranya memiliki faktor risiko ringan. Mereka dengan risiko ringan akan dirujuk ke dokter paru, sedangkan untuk risiko sedang dan berat dirujuk ke dokter onkologi.

Gejala Kanker Paru Tidak Kentara

Kanker paru banyak ditemukan dalam stadium lanjut karena umumnya tidak bergejala. Biasanya, gejala baru muncul saat sudah ada kerusakan pada jaringan paru yang mengganggu pernapasan.

Waspadai bila batuk tidak kunjung sembuh. “Tanda kanker paru pada stadium awal mirip dengan TB paru. Bila penanganan TB paru selama enam bulan tidak kunjung sembuh, harus dilakukan pemeriksaan lanjutan. Misalnya, pasien melakukan CT scan dan biopsi, untuk diagnosis penyakitnya,” ucap dr. Linda Masniari Sp.P(K).

Berikut ini tanda dan gejala yang perlu diwaspadai. Yaitu batuk-batuk yang tidak kunjung sembuh antara dua minggu hingga satu bulan, usia di atas 45 tahun, kepala pusing, berat badan berkurang, dan memiliki kebiasaan merokok. “Pada mereka yang mengalami gejala ini, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” jelas dr. Linda.

Untuk faktor risiko kanker paru, ada yang bisa dimodifikasi/dihindari, dan ada yang tidak. Yang tidak bisa dihindari yaitu usia, jenis kelamin, dan riwayat kanker pada keluarga. Tidak hanya orangtua, melainkan juga kerabat dekat seperti paman atau tante.

Adapun faktor risiko yang bisa dihindari adalah paparan asap rokok atau tembakau, asap knalpot atau polusi, rumah dengan asbes, radiasi, dan pembakaran di rumah tangga. “Lokasi pekerjaan juga berperan, misalnya dekat pabrik tambang atau pabrik semen,” imbuh dr. Linda.

Deteksi Dini dengan Low-Dose CT Scan

Deteksi dini penting untuk menemukan kanker paru pada stadium yang lebih dini. Skrining penyakit dan deteksi dini dilakukan bukan hanya karena mengalami gejala, tetapi karena memiliki faktor risiko.

Sayangnya, pemeriksaan foto toraks (rontgent dada) kurang efektif untuk mendeteksi kanker paru pada stadium dini. “Foto toraks hanya bisa mendeteksi jika nodul atau benjolan berukuran 3 cm atau lebih,” jelas dr. Linda.

Kini disarankan melakukan skrining dengan metode Low dose CT Scan atau LDCT untuk mereka dengan risiko sedang/tinggi kanker paru. Strategi ini diharapkan dapat memperpanjang hidup pasien kanker paru karena bisa dideteksi dengan lebih dini.

LDCT bisa mendeteksi dengan lebih jelas nodul atau benjolan abnormal yang berukuran lebih kecil, sehingga pengobatan kanker paru bisa dilakukan lebih awal. LDCT bisa menurunkan angka tingkat kematian hingga 24 persen. “Deteksi lebih awal, keberhasilan terapi lebih tinggi, tingkat hidup lebih dari 5 tahun. Biaya pemeriksaannya pun lebih murah, lebih efektif, dan efek sampingnya lebih sedikit,” tandas dr. Linda.

Simposium mengenai kanker paru merupakan bagian dari Siloam Oncology Summit ke-5 yang berlangsung di Jakarta, 16-18 Mei 2025, yang diselenggarakan oleh MRCCCC. Acara ini diikuti oleh 700 partisipan yang terdiri dari dokter subspesialis, dokter spesilias, dokter umum, radiologis, perawat, perwakilan rumah sakit, dan lain-lain yang terkait dengan manajemen kanker. (nid)

_____________________________________________

Ilustrasi: Image by freepik