Anemia defisiensi zat besi (ADB) menjadi masalah kurang nutrisi yang paling umum di seluruh dunia, menyumbang sekitar 62,6% dari semua kasus anemia. Survei internasional mencatat 1 dari 6 orang di dunia menderita anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi tidak boleh dipandang sebelah mata, tidak hanya menyebabkan lemah, letih, lesu dan lunglai, tetapi berpengaruh ke siklus kehidupan, menciptakan generasi penerus berkualitas rendah.
Remaja putri dengan anemia defisiensi besi, ketika dewasa kemudian hamil, berpotensi melahirkan bayi yang juga anemia. Bayi ini berisiko tinggi untuk stunting. Anak stunting memiliki IQ rendah (rata-rata 11 poin lebih rendah dibanding anak normal), dan rentan mengalami penyakit kronis saat dewasa. Siklus ini bisa berputar hingga si anak dewasa dan memiliki momongan.
Ketua Tim Kerja Pemberdayaan dan Penggerakan Masyarakat, Kemenkes RI, Dwi Adi Maryandi, SKM, MPH menjelaskan kejadian anemia tergolong tinggi di Indonesia. “Prevalensi anemia adalah 48,9% pada ibu hamil dan 38,5% pada balita. Bahkan lebih tinggi pada remaja usia 12-18 tahun,” ujarnya dalam peluncuran ANEMIAMETER, aplikasi deteksi risiko anemia defisiensi besi, Rabu (30/11/2022).
Anemia bisa disebabkan oleh banyak hal, tetapi salah satu penyebab terbanyak adalah akibat kekurangan zat besi (Fe).
“Kurang darah atau anemia adalah kondisi ketika jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin (Hb) menurun. Salah satu jenis anemia adalah anemia defisiensi besi yang dapat memengaruhi siapa saja, tetapi anak-anak, orang tua dan wanita usia reproduksi yang mengalami menstruasi dan kehamilan termasuk kelompok yang paling rentan,” terang Dr. dr. TB. Djumhana Atmakusuma, SpPD-KHOM, Ketua Umum Perhimpunan Hematologi & Transfusi Darah Indonesia (PHTDI).
Salah satu fungsi zat besi adalah sebagai pembentukan hemoglobin dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh.
Kondisi seperti hamil, perdarahan, menstruasi yang berlebihan, hemoroid (wasir) dan gastritis juga dapat menyebabkan tubuh mengalami kekurangan zat besi. Bila tidak diatasi bisa menjadi anemia defisiensi zat besi.
Dwi menambahkan, dari total 12,1 juta remaja putri di Indonesia, sekitar 8,3 juta tidak mengonsumsi tablet tambah darah (TTD), sehingga berisiko tinggi mengalami anemia defisiensi besi.
“Tablet tambah darah jika dikonsumsi teratur sejak SMP, SMA dan nanti ketika menjadi calon ibu, risiko anamia akan kurang,” lanjutnya. “Ibu hamil sebaiknya konsumsi minimal 90 butir TTD selama kehamilan.”
Hampir tidak bergejala
Riset dalam jurnal Blood (2019) menyatakan diagnosa ADB sulit, karena hampir 40% penderita tidak merasakan / menunjukkan gejala.
“Mungkin masih rendah penurunannya. Begitu Hb-nya 8, itu batas minimal, mulai lemas, takikardi (detak jantung cepat), napas pendek ada gangguan kardiorespirasi,” terang dr. Djumhana. Kekurangan zat besi dapat membatasi pengiriman oksigen ke sel, mengakibatkan sering kelelahan, tidak produktif dan penurunan imunitas tubuh.
Gejala yang mungkin terlihat seperti:
- Bibir pecah-pecah
- Pucat
- Kuku rapuh
- Sariawan
- Rambut rontok
Gejala yang dapat dirasakan antara lain:
- Kelelahan
- Sakit kepala
- Napas pendek
- Susah konsentrasi
- Pusing
- Tangan dan kaki terasa dingin
- Kelelahan
- Sulit tidur
- Rentan kena infeksi
Sangat penting menjaga keseimbangan zat besi dalam tubuh. Manajemen dengan pemberian suplemen zat besi juga penting diberikan sebagai terapi simptomatik apabila diagnosis anemia kekurangan zat besi telah ditegakkan.
Deteksi anemia defisiensi besi lewat aplikasi
Kabar baiknya, saat ini deteksi anemia defisiensi besi bisa dilakukan lewat aplikasi berbasis web bernama ANEMIAMETER.
Aplikasi ini dapat menjadi referensi saat berkonsultasi kepada dokter, tetapi bukan alat diagnosis mandiri dan tidak menggantikan diagnosis medis. ANEMIAMETER dapat diakses melalui akun resmi Instagram @Sangobion4Life dan situs Sangobion.co.id. (jie)