Ratusan dokter dan tenaga medis meninggal dunia karena terinfeksi COVID-19 saat bertugas. Namun, ancaman yang dihadapi oleh tenaga kesehatan bukan hanya infeksi dan kematian. Mereka juga berisiko mengalami burnout syndrome atau keletihan mental. Penelitian oleh tim peneliti dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja – FK Universitas Indonesia menemukan, burnout syndrome pada tenaga kesehatan di Indonesia mencapai 83%.
Burnout syndrome memiliki 3 karakteristik gejala: keletihan emosi, kehilangan empati, dan kehilangan rasa percaya diri. “Bila didiamkan, bisa terjadi gangguan mental, hingga bisa berdampak pada kualitas hidup dan produktivitas kerja,” terang Dr. dr. Dewi Soemarko, MS, Sp.OK. Ia menyebutkan, burnout syndrome dialami oleh banyak seklai tenaga medis di berbagai negara. Pemicunya, pajanan stres yang luar biasa saat mereka bekerja di fasilitas kesehatan selama masa pandemi.
Kondisi ini tidak bisa dianggap remeh, karena bisa menimbulkan efek jangka panjang terhadap kualitas pelayanan medis. “Akibat burnout syndrome, para tenaga kesehatan bisa merasa depresi, kelelahan ekstrim, bahkan merasa kurang kompeten dalam menjalankan tugas,” papar Dr. dr. Dewi dalam webinar yang diselenggarakan FKUI, Jumat (4/9/20).
Penelitian mengenai burnout syndrome pada tenaga kesehatan
Penelitian dilakukan berdasarkan survei daring pada 1.461 tenaga kesehatan di seluruh provinsi di Indonesia. “Tenaga kesehatan mencakup dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis, perawat, bidan, apoteker, dan analisis lab,” ucap Dr. dr. Dewi selaku Ketua Tim Peneliti.
Hasilnya antara lain:
- Sekitar 83% tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome derajat sedang dan berat.
- Sekitar 41% tenaga kesehatan mengalami keletihan emosi derajat sedang dan berat, 22% mengalami kehilangan empati derajat sedang dan berat, serta 52% mengalami kurang percaya diri derajat sedang dan berat.
- Dokter yang menangani pasien COVID-19 berisiko 2x lebih besar mengalami keletihan emosi dan kehilangan empati dibandingkan yang tidak menangani pasien COVID-19
- Bidan yang menangani pasien COVID-19 berisiko 2x lebih besar mengalami keletihan emosi dibandingkan yang tidak menangani pasien COVID-19
Sangat disayangkan berdasarkan penelitian ini pula, 2% tenaga kesehatan tidak mendapat APD dari fasilitas kesehatan tempatnya bekerja. Selain itu, 75% fasilitas kesehatan tidak melakukan pemeriksaan swab rutin dan 59% tidak melakukan pemeriksaan rapid test rutin bagi tenaga kesehatannya.
Lampu kuning untuk penanganan COVID-19
Dampak yang ditimbulkan burnout syndrome pada tenaga kesehatan pada akhirnya bisa menurunkan upaya penanganan COVID-19. Apalagi dengan kondisi sekarang, di mana kasus COVID-19 kembali meningkat cukup tajam di berbagai daerah bahkan hingga menyebabkan kapasitas RS hampir penuh.
“Tenaga kesehatan harus menyadari seandainya mengalami gejala nurnout syndrome,” tegas Dr. dr. Dewi. Ini pelrunya saling dukung di antara tenaga kesehatan. Fasilitas kesehatan tempat para tenaga kesehatan bekerja juga harus mendukung, dengan menyediakan sarana dan prasarana yang mumpuni. Misalnya dengan pengaturan jadwal kerja, serta pendampingan psikologis. Perhimpunan profesi bisa berperan dengan memberi pelatihan mengenai gejala-gejala burnout syndrome, serta membentuk support group untuk rekan seprofesi.
Mereka yang mengalami gejala burnout syndrome derajat sedang harus segera ditolong, agar tidak jatuh ke dalam gejala berat. “Kami ingin pemerintah bisa memfasilitasi konseling untuk tenaga kesehatan yang mengalami nurnout syndrome,” pungkas Dr. dr. Dewi. (nid)