Penelitian anyar mengungkapkan bila penderita asma 36% lebih mungkin mengalami kanker, dibanding mereka tanpa asma. Walau hubungan ini mungkin terjadi, peneliti sepakat bila diperlukan studi lebih jauh untuk menguatkan kesimpulan tersebut.
Asma merupakan penyakit kronis (jangka panjang), biasanya muncul sejak masih muda. Penyakit ini diturunkan dalam keluarga, karena ada “bakat” alergi, biasanya dimulai dari alergi susu sapi saat bayi.
Studi di jurnal Cancer Medicine (edisi Maret 2023) menyebutkan asma meningkatkan risiko kanker hingga 36%, tidak hanya kanker paru, tetapi juga melanoma, ginjal dan ovarium.
“Ini karena pasien asma mengalami peradangan kronis di tubuhnya, di mana inflamasi kronis sangat diindikasikan sebagai penyebab kanker,” kata Yi Guo, PhD, penulis pertama studi ini dan juga asisten profesor di College of Medicine, University of Florida.
Guo menyebutkan hingga saat ini masih sedikit bukti tentang hubungan potensial ini, dan belum diperiksa dalam praktik medis skala besar.
Pada penelitian baru tersebut, Guo dan tim memeriksa hubungan potensial apakah asma meningkatkan risiko kanker. Mereka menganalisa data kesehatan dari tahun 2012-2020, melibatkan lebih dari 90.000 penderita asma dan >270.000 orang dewasa tanpa asma.
“Studi kami ini adalah yang pertama melaporkan hubungan antara asma dan risiko kanker di masa depan dalam data medis dunia nyata. Sebagai studi asosiasi, riset kami tidak menyiratkan hubungan sebab akibat (misalnya, asma menyebabkan kanker paru), tetapi membuka pintu bagi penelitian lebih lanjut untuk memeriksa hubungan sebab akibat dan mekanisme risiko,” terang Guo, melansir Health.
Efek samping obat steroid inhalasi?
Walau Guo dan tim melihat umumnya terjadi peningkatan risiko kanker pada pasien asma, peneliti mencatat bila hasilnya menunjukkan bahwa pasien asma yang menggunakan steroid inhalasi memiliki risiko kanker lebih rendah dibanding yang tanpa steroid inhalasi.
Tentang jenisnya, risiko meningkat untuk sembilan jenis kanker pada pasien tanpa steroid inhalasi, tetapi hanya dua pada pasien asma dengan steroid inhalasi. Sayangnya peneliti tidak memiliki ukuran yang sempurna untuk asma yang terkelola.
“Temuan ini menunjukkan mekanisme potensial pengendalian risiko kanker, namun studi lanjutan diperlukan untuk melihat adakah hubungan sebab akibat,” Guo mengutarakan. “Ada banyak faktor risiko kanker yang bisa menciptakan hubungan kanker dan asma ini.”
Profesor Scot Evans, MD, dari University of Texas MD Anderson Cancer Center (tidak ikut dalam penelitian), menegaskan bila riset sebelumnya juga menyatakan bila steroid inhalasi bisa menurunkan risiko beberapa kanker paru.
Ia menambahkan bahwa peradangan paru kronis adalah ciri khas asma, dan telah diketahui bila inflamasi terus-menerus dan respons imun yang tidak teratur dapat mendorong perkembangan berbagai jenis kanker.
Karena kortikosteroid inhalasi adalah terapi pengontrol yang penting untuk penderita asma, Prof. Evans menyarankan agar penderita asma tidak memodifikasi penggunaan obat ini berdasarkan hasil penelitian ini.
“Manfaat positif steroid inhalasi untuk mengurangi tingkat perburukan asma, rawat inap dan kematian jauh lebih besar daripada efek ‘sederhana’ yang dicatat pada risiko kanker dalam penelitian ini,” pungkas Prof. Evans. (jie)